LIX. | Kota Suci Norma

27 8 4
                                    

Di saat kereta cepat milik Sekolah Militer Dresden menepi di stasiun utama Kota Suci petang hari itu, seseorang mengamati mereka dari kejauhan. Senyumnya terkembang, sebelum ia menatap miris anak-anak yang keluar berhambur ke peron dan berbaris siaga menyambut perintah.

Ia bisa melihat dengan jelas orang yang sudah memotong tangan partnernya hingga sang partner tidak bisa lagi bertarung selayaknya normal. Memang, teknologi prostetik ada dan berkembang pesat di mana-mana, baik dari segi sihir maupun segi teknologi. Bahkan, mereka dan perusahaan sekaliber Weiss Schach bisa saja membuat tangan baru yang mirip dengan apa yang sudah hilang.

Messenger menggertakkan giginya geram. Rook sudah dengan efektif tidak mungkin kembali menjadi agen E8.

Sebuah transmisi panggilan masuk ke piranti yang ada di sakunya, ia menekan tombol untuk menerima. Messenger sudah bisa mengira siapa yang menghubunginya saat itu.

"Semua sudah berjalan seperti seharusnya, Yang Mulia," ucapnya sebelum yang ada di seberang panggilan berucap apa-apa. "Ini artinya tugas saya sudah selesai, 'kan?"

"Terburu-buru sekali, Messenger. Apa kamu tidak ingin melihat sejarah berjalan dengan mata kepalamu sendiri?" suara itu membalas, masuk ke dalam sel-selnya, seakan Sang Ratu berbisik tepat di sampingnya. "Ahh, Rook akan baik-baik saja, kok, kalau itu yang kamu khawatirkan, fufufu. Tangannya pasti pulih."

"Apa berikutnya anda akan mencibir saya sebagai perasa, Yang Mulia?" serunya dengan suara berat. Soal partnernya yang disebut-sebut itu membuat ia sejenak merinding. Rook bahkan belum kembali ke 'sana', bagaimana Sang Ratu bisa tahu kalau ia terluka separah itu?

"Tidak, tentu tidak," sang Ratu tertawa lantang. "Kalau kamu masih setia dengan tugasmu, coba beritahukan apa saja yang sudah kautemukan."

Ah, Messenger sampai lupa melapor pada Ratu tentang perkembangan terakhir. Benih-benih yang disebar sudah masing-masing tumbuh dan berbuah. Segalanya berjalan sesuai kehendak Ratu, begitu juga soal 'racun' Angia yang dipinta sang Ratu untuk diawasi baik-baik.

Tugas utamanya kelompoknya sudah selesai, Messenger tidak sabar untuk kembali dan beristirahat. Ia entah kenapa tidak ingin tahu apa yang akan dialami dirinya dan Rook nanti. Mereka memang berhasil melaksanakan tugas, tapi mereka sudah lalai untuk membiarkan mereka menderita kerusakan lebih dari lima puluh persen.

Messenger juga tidak tahu kalau Rook akan memilih untuk tetap menjadi agen E8 atau tidak setelah apa yang terjadi. Atau lebih tepatnya, Rook masih waras atau tidak untuk tetap menjadi seorang agen.

"Yang Mulia, boleh saya bertanya?"

"Silakan, anakku."

"Apa Rook kehilangan tangannya merupakan bagian dari sejarah?"

Sang Ratu terdiam cukup lama, sebelum ia terkekeh. "Semua sudah berjalan pada garis yang seharusnya."

"Seharusnya anda memberitahu saya kalau-"

"Dan mengacaukan kebenaran garis takdir, anakku?" komentar sang Ratu ringan. "Kamu sepertinya sudah lelah, ya. Kembalilah, kalau begitu. Tinggalkan tempat itu dan kenangan burukmu, jadikan dendam itu sumber kekuatan."

Messenger menutup panggilan itu setelah memberitahukan seputar apa yang terjadi hari ini sepanjang perjalanan kereta antara Folia ke Kota Suci. Ia lalu menatap hamparan stasiun Kota Suci lagi sebelum menghela napas panjang.

Matanya tertuju ke baris depan, Lucia Florence Leanan ada di sana.

"Balas dendam, ya? Bukan gayaku," gumamnya. "Andai saja saat itu pasukan Kesatria menghabisi keluarga Leanan dengan benar."

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang