XXXII. | Luluh

30 9 0
                                    

Mereka berempat sampai ke pelataran di bawah tangga menuju rumah ibadah untuk menemukan berbagai kedai sudah berdiri sempurna. Meja-meja sudah dihias dan papan-papan penanda kedai sudah dinaikkan. Beberapa nama-nama makanan aneh yang tidak familier ada di sana, sampai Ann mungkin hanya bisa membaca 'ikan' atau 'ayam' dan sisanya seperti kata-kata asing yang baru saja ditemukan oleh seseorang.

Berbeda dengan lantai berpasir atau jalanan aspal kota, jalan menuju rumah ibadah terdiri dari paving block abu-abu segi enam dari ujung jalan yang telah ditandai sebagai jalan menuju pelataran rumah ibadah hingga ke tangga dan bidang tanah di atasnya. Sebelum rumah ibadah dengan atap segitiga besar itu, terdapat pembatas-pembatas yang digunakan untuk memagari papan berisi informasi seputar sejarah dan acara-acara yang hendak dilaksanakan tiap minggunya.

Tepat di depan pintu masuk rumah ibadah, ada sebuah prasasti batu berbentuk persegi panjang yang dikelilingi dengan tanaman pot terawat.

Siswi-siswi Kelas Sembilan yang tengah membantu di sana ada Hilde, Fiore, Blair dan Val, mereka tampak menumpuk dan menyusun selebaran di meja informasi yang disediakan di sebelah gapura pintu masuk rumah ibadah.

"Yoo, apa kalian butuh bantuan?" Alicia melambai dari kejauhan. Val menjadi yang pertama menoleh.

"Di sini ... sudah cukup sih, coba kalian ke bawah sana lagi tanya-tanya kalau ada orang kedai yang butuh bantuan."

"Ehh? Padahal kita sudah capek-capek naik tangga~"

"Anak tangganya nggak sampai ratusan, Alicia Curtis." cibir Val, ia sempurna berkacak pinggang.

Ann, Gloria dan Eris memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua berdebat kusir. Eris segera menghampiri Hilde, sementara Ann dan Gloria menyapa Fiore dan Blair dalam kegiatan mereka.

Ann memperhatikan selebaran-selebaran yang ditaruh oleh Fiore dan Blair pada kotak-kotak di atas meja. Mungkin agar bisa ditutup dan tidak mudah terbang, atau nanti malah jadinya menyampah di pelataran rumah ibadah. Selebaran itu ada dalam tiga warna, merah, biru, dan kuning. Informasi yang ada pada selebaran dicetak dengan huruf-huruf kecil.

"Ini tentang apa?" tanya Gloria menunjuk selebaran.

"Kebanyakan sih himbauan untuk menghormati prosesi peribadatan walaupun festival berlangsung ... dan, ya, sejarah Kota Redcrosse? Aku nggak terlalu baca, kamu baca, Fio?"

Fiore berdehem, "Yang merah itu informasi terkini kota. Yang kuning adalah sejarah kota dan tata cara menikmati festival. Yang biru adalah penggunaan rumah ibadah bagi pendatang," pemilik rambut pirang itu mengangguk-angguk. "Sesuai kata Blair, himbauan itu ada di semua selebaran."

"Wow, seperti biasa ya, orang terpintar di kelas~" puji Blair. Fiore sejenak tersentak.

"Aku cuma kebetulan ingat kok!"

"Terima saja pujian itu." imbuh Ann, mengambil salah satu selebaran untuk membaca. Selebaran biru benar-benar berisi peraturan penggunaan rumah ibadah, disertai gambar ilustrasi di dalamnya.

Fiore mendecak. "Baik, kuterima."

"Oh? Hubungan kalian akur ya sekarang~" sambung Blair tiba-tiba. Ia tersenyum-senyum menatap Fiore, yang membalasnya dengan tatap geram.

"Kuakui, Ann lebih baik kalau dia tidak tiba-tiba mengata-ngatai orang." ujar Fiore, berusaha kalem.

"Hmm, pujian yang cukup. Kuberi nilai 50 dari 100." Ann berpura bertepuk tangan.

"Tuh 'kan mulai!"

Senda gurau mereka berlangsung cukup singkat, tidak sesengit biasanya. Sementara, Eris tengah bersama Hilde melihat prasasti batu yang ada di dekat pintu masuk rumah ibadah, tampak membaca perlahan isinya.

"Itu apa?" tanya Ann pada Blair dan Fiore.

"Sebuah petikan dari Kitab Kejayaan Hampa," jawab Fiore cepat. "Tadi Instruktur Bathory bilang begitu."

"Jadi Kitab Kejayaan Hampa itu sebuah buku pedoman yang berkaitan dengan sejarah atau ibadah?" Gloria turut bertanya.

Blair sekedar menoleh ke arah Fiore, mukanya polos dengan ketidaktahuan. Fiore tampak berpikir sejenak sebelum menjawab.

"Kitab itu adalah salah satu dari empat kitab yang ada di Endia," Fiore mencoba menjelaskan. "Mereka bilang, kitab itu merekam hal-hal yang telah lalu, dan juga perkiraan apa yang akan terjadi. Untuk Angia, ya, Kitab Kejayaan Hampa."

Gloria mengernyitkan dahi, "Jadi buku yang dipegang Instruktur Bathory masih banyak yang kosong?"

"Itu, aku tidak tahu," Fiore mengerling ke arah prasasti batu. "Tapi prasasti itu kalau tidak salah adalah pahatan kisah tentang Angia tepat setelah Perang Seratus Tahun. Hilde lebih hafal bagian itu dibandingkan aku, sepertinya di Norma mereka belajar banyak tentang hal itu dalam sisi agamis."

Penasaran, Gloria menarik Ann untuk ikut dengannya mendekati prasasti batu itu. Alicia dan Hilde terlihat tengah berbicara dengan akrab tentang sesuatu, mereka segera terhenti ketika Ann dan Gloria datang. Eris tengah menahan dagunya, sekilas memikirkan sesuatu.

"Jadi apa prasasti ini?" Gloria segera bertanya.

"Oh, mungkin kamu kurang familier dengan Kitab Kejayaan Hampa," Hilde mundur agar ia tidak menghalangi Ann dan Gloria dari membaca prasasti itu. "Bisa saya jelaskan kalau kamu tidak mengerti."

Gloria membaca isi prasasti itu keras-keras, Ann sekedar mendengarkan, membaca tiap-tiap baris mengikuti suara Gloria.

Zaman Para Peri telah usai, manusia pun perlahan lupa bahwa mereka punya hutang budi.

Mereka perlahan menghapus kenyataan bahwa darah harus dibayar dengan darah.

Telah Para Peri tinggalkan racun yang akan mengakar di dunia. Para Peri tidak akan kembali menarik kata-kata mereka lagi.

Gloria terdiam cukup lama setelah membaca, sebelum ia mencari Hilde yang menunggu di belakang mereka berdua.

"Maaf kalau Spriggan kesannya tidak acuh tentang sejarah Angia tapi kami benar-benar tidak tahu - walau ya, mungkin Karen pernah baca sih," Gloria menunduk meminta maaf. Hilde segera menggeleng cepat menjawabnya. "Pertanyaanku, apa maksud kalimat di baris ketiga? Racun?"

Eris turut di samping Hilde, "Itu juga pertanyaanku tadi ke Hilde. Aku tidak pernah mendengar soal baris ketiga ini sebelumnya."

Hilde menggaruk pipinya sejenak, menelengkan kepala sesekali sambil melihat ke arah ukiran prasasti itu. Tidak terlalu tampak kebingungan di wajahnya, tapi gaya tubuhnya terlalu netral untuk orang yang mungkin akan mengakui kalau ia tidak tahu apa-apa.

"Saya sering membaca ini, Uskup Agung tidak pernah menjelaskan secara eksplisit soal racun ini, tapi Uskup pernah bilang kalau racun ini adalah bom waktu yang sengaja diberikan ke tangan manusia."

Gloria menaikkan alis, "Eh? Tapi Peri itu sudah 'pergi', mereka masih ingin membalas perbuatan manusia?"

"Saya tidak berpikir sampai ke sana, rasanya tidak seperti itu." sanggah Hilde, tampak keberatan. "Perang Seratus Tahun memang terasa cenderung berat di nasib Para Peri sementara manusia menang. Lagi, menurut Kitab, Para Peri itu tidak lagi menetap di Angia."

"Benar juga, ya." Eris mengangguk tanda setuju. "Apa kita bisa tanya Instruktur Bathory soal ini? Beliau 'kan pemegang Kitab Kejayaan Hampa."

"Saya tidak yakin beliau akan menjawab tapi boleh saja." usul Hilde.

Ada lambang yang menarik perhatian Ann, sebuah kupu-kupu yang digambar dengan garis merah, sementara tulisan tadi diukir tanpa warna, cuma sekedar lekukan di atas batu. Kupu-kupu merah yang mirip dengan apa yang muncul di mimpinya. Spesies yang menurut Blair sudah punah.

Kenapa kupu-kupu itu ada di mana-mana, seakan-akan Ann tidak boleh serta-merta melupakannya? [ ]

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang