LXXII. | Pulau Penjara Norma, bagian keenam

28 7 2
                                    

Sang tentara yang hanya tahu bertarung, membunuh dan dibunuh sama sekali tidak mengerti apa itu sains dan apa yang melebihinya. Di kesempatan lain, ia mungkin akan berpikir bahwa wanita di hadapannya itu gila - atau dirinya sendiri-lah yang sudah gila dan segala yang dilakukan wanita itu adalah normal.

Pantas saja para petinggi yang memberikan misi serbarahasia padanya terus-menerus mengingatkan untuk jangan mengetahui sesuatu lebih dari apa yang perlu diketahui. Ternyata memang benar, ketidaktahuan adalah sebuah kemaslahatan - anda tidak perlu peduli atau mencari sesuatu yang tidak pernah kamu lihat, tidak pernah kamu rasakan, atau tidak pernah kamu dengar.

Di hadapannya kini ada dua tabung yang menyala. Seperti kata sang peneliti di hari sebelumnya, akan ada 'keajaiban' yang terjadi. Tiana yang mengaku seorang peneliti kini terlihat di matanya layaknya seorang penyihir yang tertawa lantang di depan kuali, ketika ia menggabungkan dua entitas yang disebutnya sebagai 'benda' menjadi sesuatu yang 'hidup'.

"Lihat, Komandan," ucapnya dengan senyum lebar. "Apa yang ada di depan anda adalah mimpi dari seluruh alkimiawan di dunia, Homunculus."

Ia menatap tabung ketiga, setelah mengamati penggabungan yang ada di luar nalar barusan tanpa mengedip. Sesosok berbentuk manusia ada dalam tabung, tersambung dengannya berbagai kabel-kabel yang masing-masing menampilkan informasi ke layar. Manusia di dalam tabung itu terlihat seperti anak kecil, mungkin sekitar umur sepuluh tahunan. Ia memiliki warna rambut yang mirip seperti Tiana.

"Oh, aku sengaja menggunakan DNA-ku untuk menjadi sumbernya, jadi Komandan bisa anggap dia ini klon diriku."

"Itu ... bukan lelucon, 'kan? Saya tidak seharusnya tertawa, 'kan?"

"Kamu lucu sekali, Komandan." si peneliti terbahak. "Kamu sudah melihat keajaiban, buah mimpi semua orang Chevalier, mengapa sekarang kamu kayak mau lari tunggang-langgang begitu, hm?"

"Chevalier ...?"

"Ya, alasan mereka memilihku sebagai peneliti utama bukan hanya karena aku sembarang peneliti. Aku juga masuk sebagai garis keturunan darah alkemis di Angia yang dibilang sudah punah!" si peneliti membusungkan dada. "Ironis, bukan? Padahal semua ketakutan dengan senjata yang dibuat untuk melawan Para Peri, tapi akhirnya mereka gelap mata dan memanfaatkannya!"

Ia menunjuk tabung itu. "Anak ini ... senjata?"

"Hmm, harusnya iya. Menurut pemimpin proyek sih begitu," si peneliti mengedikkan bahu. "Sayang sekali anak ini akan dipakai nanti sebagai alasan membunuh orang, rasanya aku ingin pura-pura melenyapkannya agar dia tidak dipakai."

Sang Komandan terperangah, "... Eh? Kamu tidak setuju?"

"Mana ada orang yang suka karya emasnya dipakai untuk perang? Belum lagi, bukannya tadi aku sudah bilang kalau ini dari DNA-ku, Komandan? Dia ini seperti anakku!" ia menunjuk tabung itu kemudian beralih pada si Komandan yang mulai berkeringat dingin. "Kondisi optimal ini tidak bisa dicapai dengan mudah, makanya kusebut kalau masa inkubasinya bisa sampai sepuluh tahun! Dasar kalian ini otaknya di otot semua, ya?"

Komandan yang tercengang kini tercenung. Si peneliti memang mood-nya suka berubah-ubah cepat seiring berjalannya waktu. Sang Komandan tidak tahu beliau menyerocos apa-apa lagi soal bahan penelitiannya, ia hanya menatap tabung ketiga berisi 'manusia' itu dengan tatapan nanar.

Penelitian ini - senjata yang dibuat si peneliti ini - sebuah manusia yang dibentuk dengan sains, alkemi dan mungkin sihir, nantinya akan menjadi penentu nasib seseorang akan hidup atau mati?

Si peneliti menepuk-nepuk pundak lebar sang Komandan, ia tersenyum lembut, "Tidak usah terlalu dipikirkan, Komandan. Bukan anda yang tangannya kotor dengan segala eksperimen ini, tugas anda hanyalah mencatat, bukan?"

Poison TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang