Suara teriakan melengking seorang gadis memenuhi sebuah rumah mewah tingkat tiga. Disusul dengan ocehan panjang yang tidak berhenti keluar dari bibirnya sejak melihat warna baju kesayangannya pudar. Pintu kamarnya terbuka, memperlihatkan wajah pucat Bibi Durah melihat kemarahan majikannya.
"Mengapa warna bajuku bisa pudar begini, Bibi? Sudah berapa lama kau bekerja denganku? Mengapa mencuci pakaian saja tidak becus?!" Semburnya kemudian melempar bajunya ke arah wanita berusia lima puluh tahunan tersebut. "Apa kau juga berniat untuk kabur seperti yang lain karena menganggapku tidak mampu memberi gaji setelah kematian Ayah, begitu?"
"Maafkan saya, Nona. Saya tidak sengaja."
"Ini baju pemberian Ayah untuk promnight sekolah beberapa tahun silam. Kau sendiri tahu bagaimana berartinya barang-barang pemberian Ayah untukku. Tidak kah kau bisa berhati-hati? Sekalipun kau menggantinya dengan yang baru, kau tidak akan bisa menggantikan kenangannya."
Tidak ada kata selain maaf yang bisa Bibi Durah ucapkan. Mengingat kondisi mental Veronica beberapa minggu terakhir cukup terguncang akibat kematian Ayahnya. Perempuan itu menjadi lebih sensitif. Kesalahan kecil bisa dibesar-besarkan. Di lain waktu dia bisa menangis tersudu-sedu di pinggir kolam renang atau tertawa terbahak-bahak seorang diri saat menonton acara komedi di televisi.
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Amanda tiba-tiba datang. Perempuan dengan rambut lurus sebahu itu merupakan sahabat karib Veronica yang juga merangkap sebagai manajer keartisannya. Di titik terendah dalam hidup Veronica, hanya dua orang itu yang masih setia berada di sisinya.
"Saya tidak sengaja membuat warna baju kesayangan Nona Veronica pudar. Mungkin saya terlalu lama merendamnya di dalam mesin. Saya benar-benar minta maaf."
"Astaga. Jadi ini hanya soal baju? Tenang saja, Bibi. Veronica masih bisa membeli satu lemari, bahkan sampai mall-nya pun juga bisa. Ucapan Veronica jangan terlalu dimasukan hati. Belakangan ini dia memang seperti medusa mengerikan. Lanjutkan saja pekerjaan Bibi, saya yang akan menenangkannya."
Setelah kepergian Bibi Durah, pintu kamar Veronica tertutup rapat. Amanda mendengus melihat keadaan kamar Veronica bagaikan wilayah yang baru saja terserang badai tornado.
"Kita harus pergi ke psikiater sekarang juga!" Tegas Amanda.
"Tidak! Aku masih waras."
"Sudah dua minggu berlalu dan keadaanmu masih begini-begini saja. Aku tidak ingin menanggung risiko lebih besar. Kau sudah menandatangani kontrak film yang proses syutingnya akan dilakukan sebentar lagi. Bagaimana pun caranya kondisi mentalmu harus cepat pulih."
Jika Amanda sudah menjelma menjadi sosok manajer otoriter, maka tidak ada pilihan selain mengikuti segala ucapannya karena Veronica sadar hanya Amanda yang mampu mengarahkan jalan yang benar saat semua jalan di depannya buntu.
***
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pribahasa itu sangat cocok untuk menggambarkan bagaimana kehidupan seorang Veronica Estella saat ini.
Kematian Ayahnya saja seolah tidak cukup untuk membuatnya menderita. Kini berita tentang kasus penipuan yang dilakukan Ayahnya bersama beberapa oknum penting perusahaan sedang melonjak naik. Pihak klien yang merasa dirugikan meminta ganti rugi dengan nominal dua kali lipaf lebih besar.
David selaku pengacara pribadi sekaligus orang kepercayaan Ayahnya langsung turun tangan saat mendengar kabar tersebut. Dengan persetujuan Veronica, David terpaksa menyerahkan seluruh saham perusahaan Ayahnya sebagai biaya ganti rugi jika tidak ingin rumah peninggalan Ayahnya akan disita sebagai biaya ganti rugi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomanceKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...