Chapter 95

1.6K 177 147
                                        

Ini semua sudah direncanakan oleh Dokter Alicia. Wanita itu tiba-tiba bangkit dari duduknya dan meminta ijin pergi ke toilet. Namun dia tak kunjung datang. Membuat Veronica semakin duduk tidak tenang di tempatnya.

Seharusnya Xeron bisa memanfaat situasi yang Dokter Alicia coba ciptakan dan mengusir rasa canggung di antara mereka. Bukankah momen semacam ini sudah dia tunggu sejak lama? Mengapa nyalinya tiba-tiba saja menciut?

Xeron berdeham pelan. "Mungkin kita memang harus dipertemukan dengan cara seperti ini untuk meluruskan semuanya."

"Tidak ada yang perlu diluruskan. Apa yang terjadi di antara kita, semuanya sudah jelas." Balas Veronica sembari melihat alroji di tangannya. Mungkin dia berharap waktu akan bergulir lebih cepat agar dia bisa pergi dari sini.

Xeron bangkit dari duduknya kemudian menjatuhkan lututnya di lantai. Tepat di depan tempat duduk Veronica.

"Aku tahu ini tidak ada artinya lagi untukmu, tapi aku benar-benar minta maaf atas seluruh kesalahan yang pernah aku perbuat padamu. Aku bukan suami yang baik. Aku bukan ayah yang baik. Aku bukan sosok sempurna yang selalu memperlakukan orang-orang dengan baik. Tapi saat ini aku sedang berusaha semaksimal mungkin untuk membenah diri agar aku tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi dan lagi."

Mata Veronica akhirnya bersedia menunduk menatapnya. Terkunci dalam beberapa saat.

Jika dilihat dari sedekat ini, Veronica tidak banyak berubah. Tidak ada makeup tebal seperti yang dia gunakan saat acara lelang amal semalam. Pembawaan Veronica pagi ini masih sama dengan Veronicanya yang dulu. Cantik sekali.

Tangan Xeron seakan tidak bisa tinggal diam. Dia ingin sekali menyentuh wajah Veronica. Tapi Veronica buru-buru berkelit.

"Aku sudah memaafkanmu." Sahutnya dengan nada ketus. "Kau sudah melakukan hal yang benar untuk kami. Membuat Leah mendekam di penjara adalah keputusan paling tepat. Dia pantas menerima semua itu setelah merenggut seluruh kebahagiaanku."

"Hidup ditengah-tengah rasa dendam bukanlah hal yang menyenangkan. Tapi sampai saat ini aku masih marah sekali padamu karena kau tidak memilih menyelamatkan anak kita yang tidak berdosa. Seandainya dia masih hidup, dia pasti hampir berusia satu tahun sekarang."

Veronica tersenyum pedih sambil menarik rambutnya ke belakang.

"Aku tidak seharusnya begini. Anakku tidak akan tenang jika Mamanya masih belum bisa mengikhlaskan kepergiannya. Dan juga, belum bisa melupakan kesalahan besar yang sudah Papanya perbuat hingga menghilangkan nyawanya."

"Jika aku bisa menukar nyawaku dengan nyawanya, aku akan memilih mati menggantikan dia dibandingkan harus hidup seperti ini, Veronica. Ini juga sangat berat untukku. Bukan hanya kau yang merasa kehilangan, aku juga kehilangan Putriku, Putri kita."

Veronica mengalihkan tatapannya. Bahunya naik turun dengan cepat. Ada luapan emosi yang tidak keluar. Xeron mengesah panjang. Seharusnya dia tidak menunjukan perasaan itu secara terang-terangan. Veronica mungkin saja risih karena Xeron bersikap seolah-olah dia adalah orang yang paling tersakiti disini.

Secara perlahan, Xeron memberanikan diri untuk menyentuh tangan Veronica yang berada di atas lutut. Kali ini gadis itu tidak menepis. Justru Xeron bisa merasakan permukaan kulit tangan Veronica yang terasa dingin.

"Apa menurutmu Putri kita akan bahagia jika melihat Papa dan Mamanya seperti ini?"

"Putri kita sudah tiada. Kau tidak bisa menjadikan dia sebagai alasan lagi." Veronica menarik tangannya dari Xeron. "Mengapa kau tidak pernah menandatangani surat gugatan cerai yang sudah berulang kali aku kirimkan padamu?"

"Karena aku tidak akan pernah melepaskanmu. Aku tidak bisa benar-benar kehilanganmu, Veronica." Mata Xeron mulai berkaca-kaca. Pembicaraan ini terasa sangat sensitif. Ketakutan itu menjalar kemana-mana.

Happier Than EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang