Biasanya ketika dia baru bangun tidur, pemandangan yang menyapanya pertama kali adalah langit-langit kamar berwarna merah muda. Tetapi pagi ini, dia disambut dengan pemandangan yang berbeda. Membuatnya tersadar bahwa dia sudah menjadi seorang istri dan tinggal bersama suaminya.
Belum genap sehari, dia sudah rindu meneriaki Bibi Durah untuk membawakan segelas air lemon kemudian memintanya menyiapkan air hangat untuk mandi pagi. Sayangnya dia tidak bisa lagi bermanja-manjaan seperti itu. Memang siapa yang bisa dia perintah-perintah seenaknya? Xeron Alexander? Ck, mana mungkin.
"Selamat pagi." Suara beriton milik suaminya mengawali hari—mungkin itu akan sering terdengar untuk hari-hari berikutnya.
Xeron Alexander sudah rapi mengenakan kemeja kerja sedangkan Veronica masih dalam balutan piyama tidur dengan rambut acak-acakan. Tampak seperti pangeran dan upik abu. Sial.
Di ata meja makan sudah tersaji menu sarapan. Ada roti tawar berserta selai varian rasa buah-buahan, segelas susu putih, dan secangkir kopi hitam yang masih ngepulkan asap.
"Kau yang menyiapkan semua ini?"
"Siapa lagi kalau bukan aku?"
Kalimat itu seperti sebuah sindirian untuk Veronica yang tidak becus menjadi seorang istri. Tapi masa bodoh. Jika sudah ada suami yang bisa melakukan, mengapa harus istri?
"Kau tidak ingin menggunakan jasa asisten rumah tangga?"
"Untuk saat ini aku belum membutuhkannya."
"Dan kau akan selalu bangun pagi untuk menyiapkan sarapan?"
Xeron mengangguk, "Hidup sebagai makhluk sosial memang akan selalu saling membutuhkan. Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk selalu bergantung kepada orang lain."
"Kau menyindiriku?"
Xeron tersenyum manis tapi tampak menyebalkan di mata Veronica. Selain minta dicium, mulut Xeron Alexander sepertinya minta disentil.
"Ayo sarapan."
Veronica mengambil selembar roti tawar. Pilihannya jatuh pada selai rasa blueberry. Dia mengambil pisau di sisi kanan piring kemudian berusaha mengolesi rotinya. Butuh waktu yang cukup panjang bagi Veronica untuk melakukannya. Karena bukannya mengolesi selai secara merata, dia justru melubangi rotinya sendiri karena terlalu keras menekan pisau.
"Ck! Bagaimana cara melakukannya?" Dia berdecak keras. Setelah berusaha sekuat tenaga, dia pun menyerah dan melempar pisau di tangannya ke atas meja. "Kau pasti membeli roti murah makannya mudah sobek. Ya kan?"
"Semua roti sama saja, Veronica." Kekehan Xeron terdengar. "Kau mengolesi rotimu seperti sedang memotong daging steak. Jangan gunakan ujung pisau, ambil selai menggunakan pinggiran pisau kemudian olesi di atas rotimu dengan hati-hati."
"Aku sudah tidak napsu makan lagi." Segelas susu putih di atas meja segera dia tegak untuk mentralkan kefrustasiannya. Baru sekali tegak, dia langsung menunjukan kernyitan keras di dahinya. "Kenapa rasanya manis begini?"
"Hanya satu sendok gula."
"Bibi Durah tidak pernah memasukan gula ke dalam susuku karena aku takut gendut."
"Kalau begitu pergilah ke dapur dan buat yang baru sesuai dengan takaranmu."
"Excuse me, kau memintaku pergi ke dapur dan melakukan pekerjaan seorang asisten rumah tangga?"
"Kau punya dua tangan, gunanya untuk apa?"
"Kau benar-benar keterlaluan! Jika Ayah melihat ini, dia pasti menyesal sudah menjodohkan putri kesayangannya dengan pria tidak bertanggung jawab sepertimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomanceKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...