Jendela kamar menunjukan jika hujan mulai mengguyur Kota sore hari ini. Pandangan Veronica tertuju kesana. Sengaja menghindari kontak mata dengan Xeron setelah merasa malu karena telah meluapkan isi hati dan kekesalannya secara langsung. Mungkin saat ini dia pasti terlihat sangat menyedihkan dimata Xeron dan itu benar-benar menjatuhkan harga dirinya.
Xeron mengisi tempat di sebelahnya. Tanpa permisi dia merebahkan kepalanya di atas paha Veronica.
"Xeron."
"Ssstt, sekarang giliranku. Kau hanya perlu mendengarkan." Xeron mengacungkan telunjuknya di depan bibir Veronica. Gadis itu pun mengunci bibirnya.
Kelopak mata Xeron mulai tertutup rapat. "Siang hari itu Ibu meneleponku. Dari nada bicaranya, Ibu tampak sedang bahagia. Ternyata Leah alasannya. Ibu bercerita jika Leah mulai bersikap baik padanya. Leah mengajak Ibu memasak bekal makan siang untuk aku dan Ayah. Cumi saus tiram makanan favoritku karena itu adalah masakan pertama dari Ibu yang pernah aku makan saat usia dua belas tahun. Jadi aku tidak mungkin mengecewakan Ibu dengan menolak makanan buatnya hanya karena Leah yang mengantar."
"Aku tahu."
Xeron membuka matanya menatap Veronica dengan raut bingung, "Kau sudah tahu?"
"Aku membaca pesanmu dan Ibu saat kau tertidur di sofa ruang tamu. Maaf sudah berbuat lancang."
"Tidak apa-apa. Kau istriku, kau punya hak untuk membuka ponsel suamimu."
Sebagian orang mungkin akan marah jika privasinya diganggu, termasuk mereka yang sudah berstatus suami-istri. Veronica pikir Xeron akan marah, tapi ternyata dia lebih lembut dari yang Veronica duga.
"Leah hanya tinggal sampai makananku habis. Aku mengusirnya secara halus. Aku meminta salah satu anak buahku untuk datang dan mengatakan jika aku memiliki tamu penting. Sialnya saat itu Joe tidak masuk, jadi aku harus memutar otak untuk membuat Leah pergi. Aku berani bersumpah, kami tidak melakukan hal-hal di luar batas wajar."
"Dulu dia sering memakaikanmu dasi?" Xeron terdiam sejenak. Mungkin dia sedang memikirkan jawaban untuk tidak menyinggung perasaan Veronica. "Tidak perlu ada yang ditutupi. Aku tidak apa-apa. Toh, itu hanya masa lalumu."
"Dia yang selalu ingin melakukan itu untukku."
"Kau menyukai perhatian kecil semacam itu? Seperti melipat kerah bajumu agar penampilanmu terlihat lebih rapi?"
"Dulu mungkin Ya. Setelah Ibu menikah dengan Ayah Leah, aku semakin jarang mendapatkan perhatian Ibu. Aku merasa dibuang. Aku kesepian. Dan pada saat itu Leah memberikan seluruh perhatiannya padaku. Untuk anak yang tidak pernah mendapatkan perhatian penuh dari orang tua sejak kecil, itu sangatlah berarti. Jadi mungkin itu adalah alasan mengapa dulu aku sampai memiliki perasaan terlarang padanya."
"Aku mengerti."
Veronica masih enggan menatapnya sehingga Xeron menggenggam tangan Veronica untuk mengalihkan perhatiannya dari jendela yang mulai basah dengan air hujan. Lantas mengecup punggung tangannya berulang kali.
"Seperti katamu, itu hanya masa lalu. Sekarang aku punya kau. Aku tidak ingin apa-apa lagi selain dirimu, Veronica. Tolong percaya padaku."
"Lalu bagaimana dengan Ben Andreas?" Veronica mengalihkan pembicaraan. "Kau sampai ingin membunuhnya bukan hanya karena dia ingin berbuat macam-macam padaku kan?"
Wajah Xeron menegang. Dia menegapkan tubuhnya untuk duduk. Sepertinya nama itu terlalu sensitif untuk Xeron. Keterdiaman Xeron membuat Veronica semakin yakin jika ada sebuah kenangan buruk diantara mereka bertiga.
Walaupun kecewa tapi Veronica berusaha terlihat tetap berlapang dada. "Jika kau belum ingin bicara tidak apa-apa. Itu privasimu dan aku hargai itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
Storie d'amoreKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...