Chapter 71

1.4K 169 137
                                    

Hidup di healing center nyatanya tidak seburuk yang Leah bayangkan. Banyak kegaiatan positif yang bisa dia lakukan dengan orang-orang yang bernasib sama seperti dirinya. Dari banyaknya kegiatan terapis, Leah paling suka mengeluarkan isi hatinya melalui coretan cat di atas kanvas. Leah suka melukis.

"Selamat sore, Putri kesayangan Ayah."

Leah tidak ingin mendengar suara pria itu disini. Setidaknya tidak untuk tempat menenangkan seperti Yayasan ini. Monster itu bisa mengubahnya menjadi neraka.

"Apa yang Ayah lakukan disini?"

"Menjengukmu."

"Dari mana Ayah tahu aku ada disini?"

"Dokter Alicia sudah memberitahu Ayah mengenai kondisimu belakangan ini dan soal keputusannya yang membiarkanmu tinggal di Yayasan ini."

Ada jejak tawa dibibir Leah. Bukan kah itu artinya Ayah tidak akan mencari keberadaannya jika Dokter Alicia tidak memberitahu? Tentu saja. Ayah hanya memperdulikan Istri kesayangannya.

Jika Leah ditanya, siapa orang yang paling berjasa menghancurkan kewarasannya seperti saat ini? Maka dia akan menjawab Ayah.

Sedikit kepedulian Ayah baru terlihat setelah kematian Ibunya. Padahal dulu, dia dan Ibu selalu mengemis meminta perhatian. Agar Ayah melirik mereka sebagai makhluk hidup bukan sampah yang pantas dibuang begitu saja. Tapi selama Ibu hidup Ayah tidak pernah mengkhiraukan mereka.

Menikahi Ibu hanyalah status yang ingin dia perlihatkan kepada sanf mantan kekasih yang sudah membuatnya patah hati. Ibu Xeron. Ya, dunia begitu sempit. Leah bisa membenci Ibu Xeron karena wanita itu sudah membuat Ibu dan hidupnya berantakan. Wanita itu tak perlu mengemis untuk mendapatkan perhatian dan cinta dari Ayah. Sialan, bagaimana Leah tidak merasa iri? Bahkan sejak Leah lahir Ibu berkata jika Ayah tidak pernah menggendongnya.

Leah benci wanita itu. Tapi, kebenciaannya menjadi bomerang untuk dirinya sendiri karena dia jatuh cinta pada seorang pria yang lahir dari rahim wanita tersebut.

Xeron Alexander.

Orang yang menjadi alasan Leah tetap ingin menghirup udara lebih lama hanya demi bisa melihat wajahnya. Orang yang memberikan seluruh cinta dan kasih sayangnya pada Leah tanpa dia perlu mengemis. Mirisnya, itu dulu. Sebelum dia melakukan sebuah kesalahan yang membuat Xeron memilih menikahi perempuan lain.

Jika sudah seperti ini siapa yang patut Leah salahkan?

Semua rasa sakitnya kini berasal dari pria paruh baya di depan matanya ini bukan?

"Ayah tidak perlu buang-buang waktu hanya untuk melihat kondisiku disini. Aku jauh lebih baik. Disini tidak ada wajah malaikat pencabut nyawa—tidak ada wajah Istri kesayanganmu yang sudah membuat Ibuku mati." Leah melempar kuasnya ke lantai.

"Tolong, jangan membahas itu lagi. Kita sudah mencoba untuk melupakan semuanya."

"Nyatanya itu adalah alasan mengapa aku bisa berada di tempat ini. Aku tidak waras karena perbuatan kalian."

Ayah melangkah lebih dekat, mencoba memeluknya. Leah tidak bereaksi. Tangannya terkepal kuat di kedua sisi. Menahan desakan mual di perutnya karena dia benci terlalu dekat dengan monster.

"Leah." Ayah menarik diri. Mengamati lukisan Leah yang hampir selesai. Ayah tidak bodoh untuk tidak mengenali dua wajah manusia yang ada disana. Sangat jelas terlihat jika tulisan itu menggembarkan wajah Xeron dan Leah. Dan hal yang membuat Ayah terkejut adalah gambar kedua bibir mereka yang terbuka, nyaris menempel satu sama lain bak lukisan romantis. "Kau yang menggambar ini?"

"Bukan urusanmu."

"Wajah pria ini sangat mirip dengan Xeron."

"Dia memang Xeron. Pahlawanku."

Happier Than EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang