Chapter 14

1.7K 183 258
                                    

Setelah kejadian beberapa saat lalu, Veronica yang masih menggebu-gebu akibat Leah yang langsung melenggang pergi tanpa menjawab pertanyaannya pun diboyong pulang oleh Xeron. Sepertinya Xeron menyadari bahwa Veronica sedang dalam keadaan emosi maka dari itu bertengkar di dalam perusahaannya bukanlah pilihan yang tepat. Padahal Veronica sendiri belum puas karena belum berhasil merontokan gigi perempuan itu.

Sepanjang perjalanan, Veronica mati-matian untuk tidak meluapkan emosinya. Dia sengaja diam dan Xeron juga melakukan hal yang sama—pria itu hanya fokus ke jalanan di depannya.

Sesampainya di dalam apartemen, baru lah Veronica bisa meluapkan segala emosi yang sedari tadi dia tahan. Saat pintu sudah terkunci, dua tamparan mendarat dengan sempurna pada pipi Xeron. Pria itu menunduk, dia tidak nampak ingin melawan.

"Ternyata aku menikah dengan seorang bajingan!" Teriak Veronica di depan wajah Xeron. Tangannya bergerak untuk mencengkram bagian kerah kemeja Xeron. "Dasar brengsek!"

Veronica memukul-mukul dada Xeron menggunakan kepalan tangannya. Dia mengerahkan seluruh tenaganya. Mengeluarkan seluruh emosi di dalam dirinya dan melampiaskannya kepada Xeron. Itu pasti terasa menyakitkan. Sangat. Tapi Xeron malah memilih diam, membiarkan dirinya mendapatkan hukuman dari Veronica jika itu bisa membuat istrinya merasa lebih baik.

"Tunjukan siapa kau sebenarnya, Xeron. Tunjukan sifat aslimu padaku." Pekik Veronica masih dengan pukulan bertubi-tubi yang dia berikan kepada Xeron yang diam sembari menundukan kepala. "Jangan terus-terusan bersembunyi di balik topeng. Aku tidak akan luluh pada bajingan sepertimu!"

Kemudian tanpa sadar Veronica menangis. Seluruh tubuhnya mendadak lemas ketika air matanya luruh. Xeron menangkap kedua pergelangan Veronica. Dia menghusap wajah merah gadis itu yang kini basah akibat air mata. Kendati sudah diperlakukan dengan kasar, Xeron tetap membalasnya dengan perlakuan lembut.

"Sudah puas menghukumku?" Tanya Xeron hati-hati. "Sekarang giliranku yang bicara. Tolong dengarkan."

"Aku tidak ingin mendengar apapun dari mulut brengsekmu."

"Tolong, Veronica. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya."

Veronica menyentak tangannya dari Xeron kemudian melangkah menuju sofa sembari menghusap air matanya. Sial. Bagaimana bisa dia menangis di depan Xeron Alexander? Sekarang dia pasti terlihat sangat memalukan.

Xeron mengisi sofa tepat di sebelahnya. Secepat itu Veronica menggeser posisinya guna menjaga jarak. Tangannya terlipat dan dia menatap apapun asalkan bukan Xeron. Pria itu tampak murung dan sedih. Entahlah, itu baru prasangka Veronica saja.

"Aku bingung dari mana harus memulainya."

Xeron menghela napas sejenak. Dia tampak sulit berkata-kata terbukti dari suaranya yang mulai bergetar dan dipaksakan untuk keluar.

"Sebenarnya dulu aku dan Leah pernah memiliki perasaan terlarang. Rasa sayang yang tidak wajar untuk hubungan saudara tiri. Itu adalah dosa terbesar dalam hidupku."

Prediksi Veronica benar. Apa yang dia lihat di dalam ruangan Xeron jelas membuktikan jika kedekatan Xeron dan Leah bukan hal yang wajar. Dia hampir melihat Leah mencium Xeron tepat di depan matanya. Bayangkan saja bagaimana rasanya.

"Itu berlangsung cukup lama tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibu. Kami bisa menyembunyikan semua itu dengan baik. Hingga setahun yang lalu, Leah mengandung anak dari pria lain dan aku merasa sangat marah. Leah memutuskan untuk pergi dengan alasan ingin mengurus bisnis Ayah di Jerman, padahal sesungguhnya dia ingin menghindariku sekaligus mengugurkan kandungannya."

"Pada awalnya aku merasa sangat frustasi karena Leah tidak ada lagi disisiku. Selama beberapa bulan lamanya, aku benar-benar seperti orang gila. Joe—assisten sekaligus teman baikku—menjadi saksi penderitaanku. Joe tidak tega melihatku terus-terusan seperti itu, akhirnya dia membawaku ke psikiater. Aku menjalani terapi selama dua bulan sebelum aku benar-benar bangkit dari keterpurukan dan menyadari apa yang sudah aku lakukan bersama Leah selama ini adalah sebuah kesalahan, dosa besar yang tidak bisa diampuni."

Happier Than EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang