Chapter 35

1.9K 202 794
                                    

Manusia cenderung tidak akan melakukan sesuatu yang tidak dia sukai, jikalau pun itu terpaksa. Veronica tidak suka dapur. Selain karena pekerjaan dapur yang rumit dan bisa membuat tangan mulusnya lecet, kata-kata Ayah juga membuatnya semakin yakin untuk tidak pernah terjun ke dapur.

Enak sekali. Rasa makanan di restoran ini sama seperti masakan Ibumu. Dia adalah seseorang yang gemar memasak namun tidak memiliki cita-cita menjadi koki.

Hari itu Ayah kelepasan bicara—saat mereka duduk berdua di salah satu restoran bintang lima dan sedang menyantap makanan. Lezatnya makanan tiba-tiba hambar saat Veronica sadar Ayahnya kembali membicarakan soal wanita yang tega meninggalkan mereka.

Veronica kecil yang masih penuh dengan kebencian pun bersumpah untuk tidak pernah terjun ke dapur jika hal itu hanya akan membuat Ayah sakit hati akibat teringat sosok wanita jahat itu.

Tapi kini dia melanggar sumpahnya sendiri dengan berdiri di tengah dapur sambil menghangatkan sup buatan Ibu semalam. Xeron Alexander adalah alasan mengapa dia sampai harus melanggar sumpahnya. Dia hanya ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia layak menjadi seorang Istri Xeron. Bahwa dia tidak harus berkecil hati karena ucapan Leah semalam.

Sebut Veronica bodoh karena saat hendak memindahkan sup ke dalam mangkuk, dia lupa menggunakan slop tangan sehingga jari-jarinya bertemu dengan besi panas. Dia mengaduh kemudian langsung meniup-niup jarinya yang memerah.

Ini belum seberapa. Veronica tidak boleh menyerah.

Lantai dapur yang licin nyaris membuatnya terpeleset saat hendak mengguyur tangannya yang panas pada air mengalir. Kesialan bertubi-tubi menimpanya karena mangkuk cantik tersebut harus jatuh ke lantai sehingga menimbulkan suara pecahan yang lumayan keras. Astaga, bagaimana ceritanya Ibu rumah tangga bisa menyukai pekerjaan dapur?

"Awh." Sialnya lagi tangannya tergoser pecahan mangkuk kaca yang hendak dia buang ke tempat sampah. Veronica ngeri sendiri melihat darah yang keluar semakin banyak pada jari telunjuknya yang tergores cukup panjang.

Jika Ayahnya masih ada, dia pasti akan menangis meraung-raung akibat kesakitan. Sejak kecil Veronica dijaga dengan sangat baik—nyaris tidak pernah terluka sedikit pun. Maka dari itu Veronica tidak terbiasa dengan rasa sakit.

Entah sejak kapan Xeron juga berlutut sejajar di depannya. Pergelangan tangannya di tarik saat darah dari jarinya yang terluka jatuh ke lantai. Xeron pun menghisapnya jarinya tanpa rasa jijik.

"Xeron." Veronica berusaha menarik jarinya dari dalam mulut Xeron. "Apa yang kau lakukan? Aku bisa mengatasi luka kecil ini."

Pergelangan tangan Veronica pun ditarik menuju wastafel. Mengguyurnya pada air mengalir sebelum beranjak mencari kotak P3K. Selama Xeron mengobatinya, Veronica hanya bisa mengerjap kagum. Pria ini sangat telaten dalam hal apapun. Semua hal biasa dia tangani dengan baik dan tenang. Berbeda dengan Veronica yang sama sekali tidak bisa diandalkan.

"Apakah rasanya sakit?"

Veronica menggelengkan kepalanya saat mata Xeron menatapnya. Wajah pria itu melunak saat sebelah tangannya langsung menghusap pipi Veronica yang basah. Sial, kenapa dia harus menangis pada saat-saat seperti ini?

"Lalu kenapa kau menangis, sayang?"

"Tidak apa-apa." Veronica menyentak tangan Xeron. Sengaja memalingkan matanya ke arah lain. Menatapnya berlama-lama hanya akan membuat Veronica menangis semakin kencang. "Aku terlalu berisik ya sampai-sampai kau terbangun?"

"Aku mendengar suara pecahan benda. Apa yang sedang kau..—Astaga! Kompornya belum dimatikan." Xeron dengan sigap mematikan kompor saat sup itu sudah mendidih keluar dari tempatnya. Di dalam hati Veronica kembali berdecak. Bukannya merawat Xeron, Veronica malah menyusahkan pria itu. Dia memang tidak berguna. "Siapa yang menyalakan kompornya?"

Happier Than EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang