Chapter 102

2.4K 189 282
                                    

Suasana pemakaman pada siang hari itu tidak terlalu padat, hanya ada sanak keluarga. Langit berwarna abu-abu seperti siap menurunkan air hujan untuk mewakili kesedihan mereka yang berkumpul untuk mengantarnya menuju tempat perisitirahatan terakhir.

Veronica mengeratkan pelukannya pada Dokter Alicia saat dia kembali teringat berbagai macam memori buruk yang pernah ditinggalkannya selama hidup. Membuat dia harus merasakan trauma karena kehilangan janin di dalam perutnya. Tak hanya itu, masih banyak perbuatan buruknya yang meninggalkan bekas luka yang sulit termaafkan.

Leah memilih bunuh diri di dalam sel dengan membuat diri mengalami overdosis.

Sepucuk surat yang ditinggalkan berisi tentang hari-harinya yang berat selama menjalankan hukuman di dalam sel serta keluhan mengenai kedua kakinya yang lumpuh. Dia merasa seperti mayat namun tetap dipaksakan untuk hidup. Dia tidak menyalahkan bagaimana satu persatu orang yang dia cintai mencoba meninggalkannya. Semasa hidup dia bukan orang baik. Dia sangat jahat. Maka dari itu dia meminta maaf sebesar-besarnya kepada orang-orang yang pernah dia sakiti. Terutama Xeron, Ibu dan juga Veronica.

"Maafkan semua kesalahan Leah agar dia bisa pergi dengan tenang." Dokter Alicia menghusap pundak Veronica dalam pelukannya. "Mama percaya Anak Mama adalah seorang pemaaf."

Veronica mengangguk, "Aku sudah memaafkan Leah, Ma. Aku sudah mengikhlaskan apa yang terjadi di dalam hidupku, aku tidak lagi menaruh dendam. Sekarang Leah sudah bisa bertemu Ibu dan Putrinya. Dia pasti bahagia disana."

Sekalipun hanya kenangan buruk yang Leah tinggalkan namun Veronica tetap merasa kehilangan. Leah tidak pernah menginginkan kehidupan seperti ini, dia hanya korban keegoisan Ayahnya.

"Puas kau sekarang?!" Suasana sendu nan sunyi tiba-tiba berubah menegangkan saat Ayah menarik kerah kemeja Xeron saat pria itu sedang menenangkan Ibu yang terisak. "Jika kau tidak menjebloskan Leah ke dalam penjara, dia tidak akan memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara seperti ini. Kau pembunuh, Xeron!"

"Ini bukan salah Xeron." Bela Ibu. Dia berusaha melepaskan Xeron dari cengkraman Ayah. "Kita sedang berduka. Kau tidak seharusnya bersikap seperti ini!"

"Anak haram ini seorang pembunuh. Dia sudah membunuh Putriku!"

Ayah mendorong tubuh Xeron yang masih lemah akibat kecelakaan pada malam hari itu. Xeron hanya menunduk. Dia tidak ingin mengatakan apapun untuk membela diri. Dia mungkin lelah untuk meladeni sikap Ayah atau dia memang tidak memiliki cukup tenaga untuk melakukan perlawanan.

"Sekarang kau harus merasakan penderitaan Putriku selama berada di dalam jeruji besi. Kau harus membayar semuanya, Xeron!" Teriak Ayah sambil mencoba mencekik leher Xeron.

Kali ini Veronica tidak lagi diam di tempat. Apa yang dia lihat baru saja sudah membuatnya geram. Dia maju satu langkah dan mencekal pergelangan tangan Ayah dengan kuat.

"Berhenti menyalahkan Xeron atas kesalahan yang kau perbuat!" Teriak Veronica di depan wajah Ayah. Persetan dengan umur.

"Oh, sekarang bocah ingusan ini ingin ikut campur juga rupanya..." Ayah tertawa meledeknya. Namun tatapan kebencian itu masih terlihat jelas. "Semenjak kau hadir di tengah-tengah keluargaku, kau menghancurkan semuanya. Kau membuat Leah sakit hati, kau membuat Xeron menjadi anak pembangkang dan kau juga membuat hubunganku dan Istriku hancur. Dasar jalang kecil sialan!"

"TUTUP MULUTMU, BRENGSEK!" Teriak Xeron marah. Dia mendorong tubuh Ayah hingga punggungnya bertemu dengan tanah lalu memberi pukulan berkali-kali. Entah dari mana Xeron mendapatkan tenaga untuk melakukannya. Tapi Xeron bersumpah akan membuat perhitungan dengan siapapun yang berani menyakiti Veronica.

Ibu dan Dokter Alicia melerai perkelahian tersebut sebelum masalah baru akan mendatangi Xeron.

Veronica berlari menuju Xeron kemudian mendekap punggungnya yang bergetar hebat dari arah belakang. Perlahan-lahan menariknya menjauh dari Ayah yang sudah babak belur.

Happier Than EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang