Di sebuah sekolah dasar, Veronica kecil pernah duduk sendirian di teras depan kelas untuk menunggu kedatangan Ayah yang belum juga menjemputnya. Suasana siang hari itu hujan deras. Bahkan angin bertiup kencang ditambah lagi dengan suara petir yang menyambar beberapa kali. Benar-benar suasana yang menakutkan untuk anak berumur enam tahun.
"Orang tuamu belum menjemputmu?" Anak berkepang kuda dengan karet warna warni yang membuat rambutnya tampak seperti tongkat itu tiba-tiba menghampirinya. Veronica kecil tidak tahu siapa namanya—lebih tepatnya tidak peduli—karena anak itu memang anak paling suka mencari gara-gara di kelasnya.
"Ayahku belum datang."
"Kemarin saat perayaan hari Ibu, kau malah merayakannya bersama Bu Guru Maria di atas panggung karena kau tidak punya Ibu. Sekarang saat sedang badai begini, kau malah diterlantarkan oleh Ayahmu. Oh, kasian."
Veronica mencengkram kuat tali tas renselnya. Tentu saja dia marah tapi dia menahan diri untuk tidak menjambak rambut kuda anak itu jika tidak ingin dimarahi Bu Guru.
"Lihatlah! Mamaku sudah datang. Mama bahkan rela turun dari mobil dan hujan-hujanan demi menjemputku disini." Anak itu tersenyum sombong. "Kau pasti ingin punya Mama sebaik Mamaku. Kau pasti iri. Ayo mengaku saja!"
"Mamaku juga baik."
"Baik?" Anak itu tertawa meledeknya. "Jika Mamamu baik mana mungkin dia membiarkanmu menangis saat perayaan Hari Ibu. Mamamu pasti orang jahat!"
"Tidak. Mamaku orang baik!"
"Mana buktinya? Sekarang saja kau dibiarkan sendirian disini. Mamamu sangat jahat."
"Berhenti menghina Mamaku!" Teriak Veronica marah. Dia mendorong pundak anak itu hingga terjatuh akibat lantai yang terlalu licin karena hujan. Anak itu langsung menangis keras, Mamanya pun langsung menghampiri dengan wajah panik.
"Mama, anak nakal itu mendorongku!" Anak itu menangis semakin kencang—hampir menyetarai suara hujan—sambil menghusap bokong kecilnya. "Laporkan dia pada Bu Guru, Ma. Anak nakal harus diberi hukuman."
Mama anak itu menghampiri Veronica yang menunduk ketakutan, "Lain kali jangan seperti itu lagi, sesama teman tidak boleh saling menyakiti. Tante tidak akan laporkanmu pada Bu Guru, tapi kau harus minta maaf pada Poppy ya?"
"Aku tidak mau minta maaf. Dia menghina Mamaku, aku tidak suka Mamaku dihina oleh siapapun."
"Mama dengar kan? Dia tidak mau minta maaf. Dia anak nakal, pantas saja dia tidak sayang Mamanya."
Saat itu juga, Veronica langsung berlari menjauh. Tubuh mungilnya terguyur hujan deras yang langsung membasahi seragam sekolahnya. Mama tidak jahat. Mama orang baik. Mama sayang padanya. Dia akan membuktikan itu pada dunia.
Itu adalah kalimat yang selalu dia ucapkan sebelum tidur. Sudah menjadi doanya setiap malam. Dan tidak disangka-sangka, Tuhan mengabulkannya. Hingga Veronica percaya dengan keajabian doa.
Tapi semua itu tidak bisa diterima oleh egonya. Oleh seluruh caci maki dan hinaan yang memupuk kebencian yang begitu besar. Dia memendam kesakitan itu seorang diri selama bertahun-tahun. Kebencian terhadap sosok Ibu yang sudah meninggalkannya sedari kecil.
"Minumlah agar kau lebih tenang."
Xeron mengulurkan segelas air putih yang hanya di tatap kosong oleh Veronica. Tangisannya belum juga surut semenjak mereka pulang dari Yayasan.
"Aku sedang tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin sendiri."
Mengambil tempat di sebelah Veronica, Xeron menatap gadis itu penuh kecemasan. Dia tidak pernah melihat Veronica sehancur ini. Sesuatu di dalam dirinya bergerak untuk menenangkan. Di hapusnya air mata Veronica yang hendak jatuh.
![](https://img.wattpad.com/cover/273171655-288-k79808.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomanceKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...