Chapter 18

2K 183 381
                                        

Pagi itu Veronica tidak kecolongan lagi seperti hari-hari biasanya. Seperti sebuah keajaiban, Veronica bisa bangun lebih dulu dibandingkan Xeron. Tak ingin membuang kesempatan yang mungkin saja tidak akan datang dua kali, Veronica pun menghabiskan beberapa menitnya untuk mengamati Xeron yang masih terpejam dalam diam.

Xeron Alexander adalah sosok pria yang kuat, badai pun seolah tidak mampu membuatnya tumbang. Tapi di balik itu semua, pria itu menyimpan luka yang begitu dalam—sama seperti dirinya. Nyatanya tidak benar-benar ada orang yang selalu berbahagia di dunia ini. Mungkin itu alasan mengapa orang-orang mengatakan hidup itu adil.

Sebenarnya Veronica tidak akan bosan jika diminta berlama-lama memperhatikan Xeron. Tapi jarum jam terus bergerak dan dia tidak ingin Xeron menyadari apa yang sedang dia lakukan. Itu memalukan. Gengsi dong.

Dengan malu-malu dia pun mencium pipi Xeron. Pria itu memang tidak sadar, tidak juga merasakan ciumannya. Tapi mengapa malah Veronica yang jadi salah tingkah? Sudah gila dia rupanya.

Veronica pun melangkah gontai keluar kamar. Perutnya lapar dan belum ada makanan yang tersaji di atas meja. Tentu saja, juara Master Chef kita masih tidur nyenyak.

"Aduh, lapar!" Veronica mengusap-usap perutnya layaknya ibu hamil. Mau tidak mau, Veronica pun harus masuk dapur. Sebuah keajaiban lainnya untuk hari ini. "Dimana sebenarnya Xeron menyimpan roti?"

Membuka satu persatu kabinet, Veronica hampir di buat frustasi karena tidak bisa menemukan roti berserta selai-selainya. Entah harus disebut beruntung atau sial, benda tersebut dia temukan saat dia menarik kabinet terakhir yang terletak paling ujung. Astaga. Xeron ini suka mojok ya?

Veronica pun mengeluarkan semuanya dari kabinet dan membawanya ke meja makan dengan susah payah. Jika bukan karena perutnya lapar, dia tidak akan sudi menyusahkan tangan mulusnya.

"Veronica!"

Saat sedang asik-asiknya mengoles roti dengan selai, suara teriakan tersebut hampir saja membuat olesannya tidak estetik. Kening Veronica mengerut. Ada apa Xeron pagi-pagi begini sudah teriak-teriak?

"Ya?"

"Kau dimana?" Tanyanya dengan suara lebih keras.

"Jangan teriak-teriak. Kau tidak sedang hidup di hutan belantara!" Balasnya ikut berteriak. Apa bedanya jika begini?

"Kau dimana sebenarnya?"

"Disini!"

"Disini dimana?"

Demi Tuhan, gendang telinga Veronica rasanya ingin meledak. "Di meja makan. Berhenti berteriak atau ku sumpal mulutmu!"

Belum juga sempat menarik napas usai berteriak-teriak, Veronica semakin dibuat tidak bisa bernapas saat tiba-tiba lengan kekar melingkari tubuh rampingnya. Roti di tangan Veronica nyaris saja terjatuh dan jika itu terjadi, Xeron benar-benar merusak moodnya pagi ini.

"Xeron." Dia menoleh pada Xeron yang sedang membenamkan kepala di pundaknya. Setelah dipinjamkan sekali, sepertinya Xeron malah nyaman. "Aku tidak bisa bernapas."

Veronica sudah mencubit-cubit punggung tangan Xeron agar pelukan itu melonggar tapi apa yang dia lakukan hanyalah perbuatan sia-sia.

"Sebanarnya kau ini kenapa?"

"Aku takut." Akhirnya Xeron bersuara di dekat telinga Veronica dan itu bukan sesuatu yang bagus untuk Veronica saat hari masih pagi begini.

"Takut? Ada hantu?"

"Lebih menakutkan dari hantu."

"Apa?" Mata Veronica mendelik. Xeron salah besar membicarakan hal tersebut bersama Veronica yang mudah parno. "Apa yang lebih menakukan dari hantu, Xeron?"

Happier Than EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang