Hidup memang pilihan tapi seseorang tidak bisa memilih kehidupan seperti apa yang dia inginkan. Begitulah Xeron mendeskripsikan hidupnya, yang tidak pernah dia inginkan, bahkan mungkin tidak untuk orang-orang di sekitarnya.
Xeron luar biasa sakit luar dan dalam. Dan yang bisa mengobati hanyalah dirinya sendiri dan rasa cintanya yang begitu besar kepada Sang Ibu.
Xeron kecil pernah jatuh dari atas sepeda milik temannya karena dia tidak pernah diajarkan naik sepeda oleh orang tuanya. Untung temannya saat itu berbaik hati meminjamkannya sepeda. Lututnya terluka. Untuk ukuran bocah berusia enam tahun luka sekecil itu terasa sangat menyakitkan tapi Xeron tidak mengeluh.
Sekalipun dia menangis siapa yang ingin peduli? Ayahnya sibuk dengan dunianya sendiri sedangkan Ibunya akan pulang bekerja larut malam dan langsung beristirahat karena kelelahan.
"Ayah." Panggilnya pada Ayahnya yang sedang menonton pertandingan tinju di televisi dengan satu botol miras di tangannya. Sampah kacang-kacangan berserakan di atas meja. "Lututku berdarah. Bisakah Ayah mengobatinya?"
"Jangan manja. Kau itu laki-laki. Obati sendiri atau biarkan saja sembuh dengan sendirinya. Itu hanya luka kecil!"
"Tapi rasanya perih, Ayah."
"Bisakah kau diam? Pertandingan tinju yang aku tonton sedang seru!" Bentak Ayah. Xeron kecil berusaha menahan tangis. Walau sudah sering mendengarnya tapi rasanya tetap saja menyakitkan tiap kali mendengar Ayah membentaknya. "Kenapa masih diam disana? Masuk ke dalam kamarmu dan mandi. Kau bau keringat!"
"Tapi rasanya akan lebih perih jika terkena air."
Kalimat bantahan tentu saja akan membuat Ayahnya marah. Xeron kecil sudah tahu jika dia akan mencium lantai karena Ayah mendorongnya yang menghalangi televisi. Disanalah isak tangisnya mulai tersengar. Bukan karena lututnya yang semakin sakit karena bergesekan dengan lantai namun karena perlakuan kasar Ayahnya.
"Kau tidak bisa diberitahu. Aku tidak suka mengulangi ucapanku. Jangan membuatku melempar meja ini padamu. Masuk ke kamarmu, Xeron!"
Di dalam kamarnya, Xeron melanjutkan tangisannya namun dia tetap pergi mandi. Dia membersihkan diri dengan hati-hati walau sesekali gemericik air mengenai luka pada lututnya.
"Hanya ini uang yang berhasil kau bawa pulang?" Suara teriakan Ayahnya terdengar. Xeron buru-buru menyelesaikan mandinya karena dia tahu Ibunya sudah datang.
"Teman-temanku akan menertawaiku jika aku hanya membawa uang ini sebagai modal judi. Dasar istri tidak berguna!"
Saat Xeron membuka pintu kamarnya, dia sudah melihat Ibu berada di lantai sedangkan Ayah mencoba untuk memukuli Ibu lagi. Xeron yang masih wangi sabun pun langsung berlari menuju Ibu dan memeluknya untuk melindungi Ibu dari Ayah. Pukulan keras Ayah mengenai kepala bagian belakang Xeron. Sakit. Namun Xeron menahannya.
"Xeron." Ibu langsung mendekapnya erat. Matanya memicing pada Ayah. "Kau boleh berbuat kasar padaku tapi tidak dengan Putraku!"
"Seharusnya dulu kau menggugurkan janinmu agar anak ini tidak terlahir di dunia. Uangmu habis hanya untuk membayar biaya sekolahnya sedangkan kau hanya memberikan sedikit uang padaku. Dasar brengsek!"
Ayah melenggang pergi membawa uang Ibu. Dia pasti akan pergi ke tempat judi untuk bersenang-senang. Xeron kecil—yang masih menahan sakit pada kepalanya pun menghusap wajah Ibunya yang berlinang air mata.
"Ibu tidak apa-apa? Dimana Ayah memukul Ibu?" Xeron masih bisa bertanya padahal dia sendiri membutuhkan pertolongan.
Ibu menggeleng lemah dan mencium pipi Xeron sebelum dia digendong menuju kamar. Ibu menyadari luka dilututnya padahal Xeron sudah berusaha menutupi agar Ibu tidak cemas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomantizmKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...