Aroma rumah sakit perlahana-lahan tercium oleh inderanya. Kelopak mata itu cukup terasa berat saat dia mencoba membukanya. Langit-langit berwarna putih itu masih terlihat buram.
Hal pertama yang dia dengar, suara seorang wanita yang berteriak. "Dokter, Putriku sudah siuman."
Seketika ingatan Veronica berputar pada kejadian terakhir yang dia alami. Kejadian yang membuatnya berada di tempat ini. Dadanya bergemuruh. Keringat dingin membanjiri tubuhnya dalam waktu singkat.
Kemudian seorang Dokter datang untuk memeriksa keadaanya. Suntikan yang masuk ke dalam tubuhnya mampu membuatnya lebih tenang.
Pandangan itu perlahan-lahan tak lagi buram. Dia bisa melihat seorang Dokter pria yang didampingi dua orang perawat berada di kedua sisi tempat tidurnya. Kemudian dia melihat Dokter Alicia yang menatapnya penuh kekhawatiran dengan kedua matanya yang sembab.
Satu hal melintasi pikirannya. Dia menunduk dengan cepat. Tangannya yang lemas bergerak memegangi perutnya yang tak lagi besar.
"Anakku..." Gumamnya lemah. Tapi luapan emosi di dalam dirinya mendorongnya untuk mengeluarkan suara lebih keras lagi. "Dimana anakku? Apakah dia sudah lahir?"
Dokter Alicia maju mendekat pada Dokter yang baru saja memeriksanya. Samar-samar dia mendengar percakapan kecil layaknya sebuah negosiasi.
"Agar saya yang memberitahu Putri saya, Dok."
"Kondisinya masih belum cukup baik. Tolong kendalikan emosi pasien agar tidak melemahkan kondisi fisiknya. Dia baru saja siuman."
Sudah berapa lama dia tak sadarkan diri?
Dokter dan dua orang perawat itu pun keluar ruangan. Veronica mencoba menopang tubuhnya menggunakan siku agar dia bisa duduk. Tapi sekujur tubuhnya luar biasa sakit—terutama pada bagian bawah perutnya. Dia merintih begitu keras hingga Dokter Alicia membantunya kembali berbaring.
"Jangan terlalu banyak bergerak, sayang. Kau masih belum pulih."
Bukan itu yang ingin dia dengar. Dia mengesampingkan rasa sakit yang melandanya. Satu-satunya hal yang ingin dia ketahui adalah keberadaan anaknya.
"Di-mana anakku, Ma?" Suara itu bergetar penuh ketakutan. "Dia harus terlahir prematur ya?"
Sekeras mungkin Veronica berusaha menyimpulkan bahwa suasana yang sedang dia hadapi adalah suasana haru karena anaknya sudah lahir. Tapi jejak air mata itu justru menunjukan sebuah kesedihan.
"Apakah dia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan?"
"Veronica..."
"Dia lahir dalam keadaan lengkap dan sehat 'kan?"
Tangis Dokter Alicia semakin tak terbentung. Veronica tidak suka suasana ini. Dia mendadak takut dan gelisah. Tangan Veronica yang tak teraliri selang infus menyentuh lengan Dokter Alicia kemudian sedikit mengguncangnya.
"Mama, katakan sesuatu. Anakku baik-baik saja 'kan?"
Gelengan Dokter Alicia seakan meruntuhkan dunia Veronica. Tangan itu kembali terjatuh ke atas tempat tidur. Dalam beberapa saat napasnya terkecat.
Dia ingat saat darah mengalir dikedua kakinya tanpa henti. Dia ingat bagaimana dia berusaha menghirup udara di tengah kepulan asap mematikan hanya agar anaknya bisa bertahan. Dan, yang terakhir dia ingat adalah pemandangan saat Xeron menolong Leah dan membawanya keluar lebih dulu dari gudang. Setelah itu dia tidak bisa mengingat apapun karena sudah tak sadarkan diri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomanceKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...