Tiga hari setelah kejadian mengejutkan di atas bukit, Veronica sengaja menghindari Xeron. Dia tidak membalas pesan ataupun mengangkat panggilan dari pria itu. Semuanya masih terasa sangat mengejutkan. Sulit diterima oleh akal sehat dan logikanya walau dia tahu hatinya selalu berdebar tiap kali mengingat betapa gagahnya Xeron pada momen bercinta pertama mereka setelah sepuluh bulan tidak berjuma.
Kesibukan yang Veronica jalani hari ini tetap tidak bisa mengusir bayangan Xeron yang melenguh panjang di bawah tubuhnya. Serta suara erangannya yang seksi dan ingin dia dengar lagi.
Buru-buru Veronica menggelengkan kepalanya untuk mengusir semua bayangan itu. Logikanya terus menolak walau perasaannya masih mendamba. Veronica memilih menggunakan logika. Dia tidak ingin bertindak bodoh lagi jika mengandalkan keinginan yang berasal dari hatinya.
"Bagaimana kau bisa hidup baik-baik saja tanpa aku?"
Seiring dengan suara teriakan yang menusuk gendang telinganya. Buah jeruk yang menggelinding di trotoar berhenti tepat di depan kaki Veronica. Gadis itu membungkuk untuk memungut jeruk yang jatuh dari tas belanja seorang wanita di depan sana.
"Kau tidak menyesal lebih memilih Anak Haram itu dibandingkan hidup bersamaku?"
"Berhenti menyebutnya Anak Haram. Dia Putraku!"
Veronica mengerjap beberapa kali mendengar suara wanita itu. Langkah kakinya bergerak hati-hati. Dia bersembunyi di balik pilar bangunan untuk mengintip percakapan dua lawan jenis itu. Ibu Xeron dan Ayah Leah.
"Putra yang lahir karena kau mengkhianati cintaku. Itu yang kau bangga-banggakan sekarang?"
Ibu tampak marah, tangannya terkepal di kedua sisi. "Apa maumu? Kau tahu bahwa aku memilih hidup bersama Putraku dibandingkan dirimu. Beberapa bulan terakhir, aku sudah bisa menghirup udara bebas dan menjauh dari tekanan yang kau berikan. Aku bisa hidup bersama Xeron dan kau juga bisa hidup bersama Leah. Dan, apa yang kau lakukan sekarang? Membuntuti aku berbelanja ke supermarket untuk melanjutkan adu mulut kita yang tentang anak-anak yang tidak akan pernah selesai?"
"Kembali ke mansion!"
"Aku tidak mau. Aku sudah bahagia hidup berdua bersama Xeron."
"Aku tidak memberimu pilihan, ini perintah. Kau harus kembali ke mansion dan berada di pihakku."
"Aku bilang aku tidak mau kembali ke mansion itu lagi!" Teriak Ibu dimana membuat wajah Ayah semakin merah akibat emosi. Ayah mencekal pergelangan tangan Ibu dan berusaha menyeretnya untuk ikut masuk ke dalam mobil yang terparkir di dekat sana. "Lepaskan aku! Tolong...tolong aku."
Satu hal yang melintasi pikiran Veronica yaitu melepaskan salah satu heelsnya kemudian melempar benda itu ke arah punggung Ayah. Veronica benar-benar melakukannya. Tubuh Ayah mematung di tempat saat Veronica melangkah maju.
"Hei, kau tidak bisa memaksakan kehendakmu terhadap orang lain." Sentak Veronica sambil menarik pergelangan Ibu dari Ayah dan menyembunyikan tubuh bergetar Ibu di balik punggungnya. "Tidak kah kau bisa dengar bahwa Ibu tidak ingin ikut denganmu?"
"Gadis pembawa masalah ini muncul lagi rupanya." Ayah terkekeh sinis sambil memandangi Veronica naik turun. "Aku pikir kau sudah mati bersama Anakmu."
Tangan kanan Veronica bergerak menampar pipi Ayah. Gerakan itu benar-benar refkles, dia pun tidak menyangka akan seberani itu. Dia tidak pernah suka jika Anaknya yang tidak berdosa selalu disangkut pautkan dengan dendam yang Ayah miliki dengan Xeron ataupun dirinya.
"Hati-hati dalam berbicara. Mulutmu harimaumu. Kau tidak pernah mendengar pribahasa itu?"
Ayah menyentuh pipinya yang panas. Kembali menatap Veronica dengan senyum meremehkan. "Tahu apa gadis belia yang baru lahir kemarin sore tentang kehidupan? Jangan sok menasehatiku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomanceKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...