Veronica sedang panik namun suara pekikan histeris Amanda membuatnya berkali-kali lipat menjadi lebih panik. Jendela mobil sudah digedor-gedor keras dari luar bak film action yang pernah dia perankan. Bahkan salah seorang dari mereka mengeluarkan senjata tajam. Seolah memberi isyarat jika orang itu akan menghancurkan jendela mobil jika mereka tak kunjung keluar.
"Sepertinya kita harus keluar dan bicara baik-baik dengan mereka. Jika memang yang mereka butuhkan adalah uang maka aku akan memberikan berapapun yang mereka inginkan."
"Jangan gila!" Amanda mencekal pergelangan tangan Veronica untuk menghentikan aksi heroik yang bisa saja membuat sahabatnya itu mati konyol. "Aku pastikan Xeron akan datang sebentar lagi."
"Mereka bisa menghancurkan mobil kesayanganmu, Amanda."
"Masih ada bengkel yang bisa memperbaiki mobilku. Tapi kalau kau yang kenapa-kenapa, dimana lagi aku mencari sahabat sefrekuensi? Jadi tolong menurut padaku sekali saja."
Suara klakson mobil lantas terdengar dari luar. Semua kepala menoleh ke sumber suara. Xeron keluar dari mobil yang sengaja dia parkirkan di tengah jalan. Berjalan menuju mobil Amanda yang dikelilingi oleh para preman berpakaian lusuh dan dekil.
Tapi aksi tersebut ditahan oleh salah satu dari mereka. Xeron tentu saja memberontak marah dan meninju wajah preman tersebut. Mata Veronica membelalak. Sial. Satu lawan delapan. Bagaimana mungkin Xeron bisa menang?
"Vero, mau kemana? Aku bilang jangan keluar!"
"Dan membiarkan suamiku mati?"
"Aku yakin Xeron bisa menangani me—"
"Xeron bukan superhero. Aku harus membantunya."
Dengan nekad, Veronica pun membuka pintu mobil di sebelahnya. Kakinya gemetar saat melihat dua orang yang sudah terkapar di atas aspal dengan wajah berdarah-darah.
Enam lawan satu. Terlalu beresiko untuk Xeron yang tenaganya pasti sudah terkuras. Beberapa kali Veronica menyaksikannya terjatuh namun dia tetap berusaha bangkit dan menghajar preman-preman sialan itu. Apa yang bisa Veronica lakukan? Ayo, berpikir. Berpikir!
Ujung dari pisau yang keluar dari balik celana lusuh preman itu seolah menyilaukan mata Veronica. Preman itu berada di belakang tubuh Xeron—usai bangkit setelah Xeron berhasil membuat hidungnya mengeluarkan darah. Pergerakannya tidak terdeteksi oleh Xeron. Pisau itu bisa saja menancap di punggungnya. Oh, tidak!
Dalam waktu sekejap darah itu keluar tanpa henti. Bahkan masih dengan pisau yang menancap pada lengan kirinya, dia bisa menendang wajah preman itu menggunakan hak sepatunya yang tajam.
Suara sirine mobil polisi kemudian terdengar. Para preman yang masih memiliki tenaga untuk kabur pun berhambur masuk ke dalam mobil butut itu. Ternyata itu adalah ulah Amanda yang sengaja menyetel suara sirine mobil polisi pada tape mobilnya dengan keras.
Xeron menangkap tubuh Veronica yang lunglai. Darah Veronica sudah mengotori sebagian tanktop putih tanpa lengan yang gadis itu kenakan.
Meraih pisau yang masih menancap di lengannya, Veronica pun menariknya dengan cepat hingga darah itu sedikit menyembur ke wajah Xeron.
"Veronica." Xeron mendekap wajah gadis yang semakin memucat karena terlalu banyak darah yang keluar dari lengannya. "Cepat panggilkan ambulan!"
Sebelum sempat Amanda melakukannya, bala bantuan pun datang seiring dengan kehadiran mobil Joe di tengah-tengah mereka bersama mobil polisi sungguhan yang membuntutinya dari belakang.
"Kita ke rumah sakit. Kau harus kuat, sayang."
***
Xeron mondar-mandir tidak tenang menunggu Dokter usai menangani Veronica. Bahkan dia menolak untuk diobati, padahal wajahnya masih dalam keadaan berdarah-darah. Sedangkan Amanda duduk dengan perasaan cemas. Melafalkan berbagai macam doa untuk kesembuhan sahabatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomanceKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...