Sebenarnya Veronica bisa saja menutup pintu rumahnya rapat-rapat tanpa memikirkan bagaimana reaksi Leah ketika mendapatkan penolakan darinya. Tapi, Veronica tidak setega itu. Dia membuka pintu rumahnya lebih lebar, membiarkan Leah melangkah masuk dengan sendirinya.
Leah mengamati sekeliling ruang tamu. Matanya berbinar. "Ini dekorasi rumah impian Xeron. Dulu dia pernah ingin kabur dari mansion dan berencana untuk membeli rumah agar kami bisa lebih leluasa melakukan apapun yang kami inginkan."
Sudah Veronica duga, kedatangan Leah tidak pernah bermaksud baik. Veronica berdeham. "Kau ingin minum apa?"
"Tidak perlu repot-repot." Leah mendudukan dirinya di sofa dengan anggun. "Kau pasti bingung kan bagaimana caraku mengetahui alamat rumah kalian?"
"Aku tidak heran jika kau bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan sesuatu yang kau inginkan."
"Benar sekali. Aku mendapatkannya dari Ibu atas perintah Ayah. Dan hei, kau seperti sudah sangat mengenalku. Apakah Xeron sering menceritakan tentangku padamu?"
Veronica berdeham lagi. Tidak tertarik dengan topik yang bisa menyulut emosinya. "Jadi dari mana kita harus memulai pembicaraan dari hati ke hati ini?"
Leah terkekeh. Gelagatnya nampak begitu tenang. Leah mengulurkan tangan kanannya untuk menghusap perut besar Veronica. Dimana membuat Veronica sedikit terkejut.
"Perutmu sudah besar. Usia kandunganmu tujuh bulan ya? Di usia kandungan itu, dulu aku sedang dalam fase ngidam makanan manis, padahal itu tidak terlalu sehat untuk si jabang bayi. Bagaimana dengan calon bayimu, apakah dia rewel seperti bayiku dulu?"
"Tidak. Dia hanya ingin selalu berada di samping Papanya."
Wajah Leah mendadak pucat pasi. Tangan kanannya kembali di tarik lantas membentuk kepalan. Papanya. Mungkin kata itu baru saja menamparnya.
"Calon bayimu cukup beruntung." Leah tersenyum sambil menekan kata cukup. Tidak mau kalah.
"Tidak. Dia sangat amat beruntung." Veronica sudah menari di atas awan menyambut kemenangannya saat Leah tidak bisa berkata-kata. "Apakah tujuanmu kemari hanya untuk membandingkan nasib anak kita? Jika memang itu yang ingin kau lakukan, maka calon anakku adalah pemenangnya."
"Apakah kau merasa bangga setelah berhasil merebut semua kebahagiaan kami?"
"Aku tidak merebut kebahagiaan siapapun. Kebodohanmu lah yang membuat Xeron akhirnya bertemu denganku dan lebih memilihku dibanding melanjutkan hubungan terlarangnya bersamamu."
Leah tersenyum getir, tidak ada pembelaan yang keluar dari bibirnya karena semua ucapan Veronica terasa benar.
"Jadi benar kau yang menyuruh Xeron untuk menjaga jarak dariku?"
"Ya, aku orangnya. Ada masalah?"
Leah mencari-cari sesuatu di dalam tasnya. Sebuah cincin permata berkilau dia keluarkan dari dalam kotak beludru berwarna merah. "Kau bisa mulai membantuku dari sini. Aku akan menyerahkan barang-barang yang dulu pernah Xeron berikan padaku ke padamu."
"Aku tidak menginginkan cincin itu, kau simpan saja."
"Aku tidak bisa. Semua barang-barang pemberian Xeron memiliki cerita yang sangat sulit untuk di lupakan. Cincin ini, aku mendapatkannya saat Xeron mengajaku dinner di pinggir pantai. Dia menyewa tempat itu hanya untuk kami berdua. Katanya, maaf karena dia tidak bisa mewujudkan pesta pertunangan mewah yang akan dihadiri oleh banyak orang. Dia hanya bisa memasangkan cincin pada jemari manisku dengan bulan penuh dan suara deburan ombak pantai yang menjadi saksi bahwa dia mencintaiku, bahwa dia ingin aku menjadi tunangannya walau secara diam-diam. Disana lah Xeron berkata bahwa dia ingin membeli rumah dan kabur dari mansion kemudian menikahiku dan—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomanceKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...