"Permisi. Kau menghalangi jalanku."
Begitulah sikap yang ditunjukan Veronica kepada Ben setelah cukup lama tidak bertemu. Pura-pura tidak saling mengenal memang pilihan yang terbaik. Terlebih lagi pertemuan terakhir mereka bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Veronica bergerak ke kanan, namun Ben menghalanginya. Berusaha mengambil celah ke kiri, lagi-lagi Ben dengan gesit menghalanginya. Veronica berdecak frustasi. Kesabarannya sudah habis jika terus diuji seperti ini.
"Apa maumu, Ben Andreas?"
"Kau masih ingat nama panjangku rupanya. Itu suatu kehormatan besar bagiku." Ben menarik senyum dan Veronica benci sekali melihatnya. "Well, apa kabar, Veronica Estella?"
"Tidak cukup baik setelah melihatmu. Minggir!"
Kemudian Ben dengan lancang mendorong pinggang Veronica hingga mereka berdua kembali masuk ke dalam basecamp yang sepi. Pria ini benar-benar cari mati!
"Jangan berani menyentuhku. Tanganmu menjijikan!" Gertak Veronica sembari menepis kasar tangan Ben dari pinggangnya. Dia menepuk-nepuk pakaiannya seolah baru saja disentuh oleh tikus got.
Ben tersenyum miring sambil menghusap dagunya sendiri. "Aku dengar Ayahmu meninggal." Lantas dia berdecak, "Padahal sejak dia mengirimku ke tempat rehabilitasi sialan itu, aku selalu mendoakannya agar panjang umur, setidaknya sampai aku berhasil menghirup udara bebas."
Kalimat itu telak berupa sindiran. Tangan Veronica mengepal. Apapun yang menyangkut tentang Ayahnya adalah sesuatu yang sensetif bagi Veronica.
"Aku bahkan berharap kau mendekam disana selamanya."
"Nyatanya aku sudah bebas. Karirku akan kembali naik sebentar lagi. Apalagi setelah membintangi film yang sama dengan seorang Veronica Estella."
"Apa maksudmu?"
"Tujuanku datang kemari adalah untuk menemui sutradara. Lawan mainmu untuk film berikutnya mengundurkan diri dan aku dipilih menjadi aktor pengganti. Beritahu aku, dengan cara apa kita harus membangun kemistri? Oh, haruskan kita melanjutkan apa yang dulu hampir kita lakukan untuk membangkitkan kemistri?"
"Berhenti bicara!" Mata Veronica menyorot tajam pada Ben. "Aku bisa kembali menjebloskanmu ke dalam penjara jika kau berani berbuat macam-macam."
"Apa itu ancaman?"
"Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku!"
"Ayahmu sudah mati. Apa yang kau harapankan?"
Tangan Veronica melayang pada pipi kanan Ben hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Wajahnya merah padam. Napasnya memburu dengan cepat. Dia benar-benar memiliki keinginan untuk membunuh bajingan di depannya ini.
"Jangan pernah membawa nama Ayahku dalam permasalahan kita. Kau pengecut, Ben!" Teriaknya dengan suara bergetar marah. Saking emosinya, air matanya bahkan sampai menggenang.
"Veronica." Amanda yang tiba-tiba masuk ke dalam basecamp pun luar biasa terkejut melihat kehadiran Ben Andreas di dalam sana. Apalagi saat dia menyadari Veronica seperti seseorang yang sedang kesetanan. "Apa yang sudah kau lakukan pada sahabatku?"
"Dia masih saja seperti bocah dan penuh dengan emosi. Aku semakin tertantang."
"Keluar dari sini sebelum aku akan menendang bokongmu." Amanda menuding pintu keluar dengan penuh amarah. "Aku bilang keluar!"
"Kita akan bertemu lagi setelah ini, Vero." Ben mengedipkan sebelah matanya genit kepada Veronica yang masih sulit bernapas akibat tersulut emosi sebelum benar-benar enyah dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomanceKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...