Chapter 72

1.3K 169 162
                                    

Hari ulang tahun ke delapan adalah hari yang paling membahagiakan untuk Xeron. Malam itu Ayah tidak pulang—mungkin sedang asik berjudi dengan teman-temannya hingga lupa waktu. Ibu mengetuk pintu rumah saat dia sudah terlelap karena terlalu lama menunggu kepulangan Ibu.

Kaki kecil Xeron melangkah membuka pintu. Padahal jika diingat-ingat Ibu juga memegang duplikat kunci rumah.

"Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday.., happy birthday.., happy birthday to you," Ibu bernyanyi dengan suara pelan sambil membawa sebuah kue tart kecil rasa coklat dengan lilin angka delapan yang mulai meleleh.

Xeron berbinar. Dia tidak pernah merayakan ulang tahun selain hari itu.

"Sebutkan keinginanmu di dalam hati agar Tuhan bisa mendengar doamu kemudian tiup lilin ini sebelum meleleh dan membuat rasa kuenya menjadi tidak enak. Ayo, sayang."

Doa Xeron hari itu hanya satu; Tuhan, semoga hidup Ibu bisa lebih bahagia dari sekarang dan semoga dia selalu menjadi anak yang baik untuk Ibu.

Kemudian Xeron meniup lilin tersebut dengan perasaan senang dan terharu.

"Terima kasih banyak, Ibu. Harga kue ini pasti sangat mahal. Bagaimana cara agar aku bisa mengganti uang Ibu?"

"Ibu masih mempunyai sedikit tabungan untukmu. Tapi jangan bilang-bilang pada Ayah ya."

Xeron duduk di sofa reot dengan tidak sabaran—menunggu Ibu datang membawa pisau dari dapur untuk memotong kue coklatnya.

"Enak sekali. Aku suka. Terimakaih kasih, Ibu." Kata Xeron usai menelan potongan kue pertamanya. Xeron langsung memeluk perut Sang Ibu karena tubuhnya masih belum terlalu tinggi. "Apakah Ibu tahu apa doaku di hari ulang tahun ke delapan ini?"

"Apa, Nak?"

"Aku ingin Ibu bahagia." Xeron meraih tangan Ibu. Kembali teringat pada tamu yang mengobrol dengan Ibunya di teras rumah kemarin malam. Xeron jarang sekali melihat Ibu tersenyum. Tapi kemarin saat bersama pria itu, untuk pertama kali Xeron bisa melihat Ibu tersenyum sangat lepas. "Apakah tamu yang datang kemarin membuat Ibu merasa bahagia?"

Ibu tampak terkejut.

"Orang itu adalah teman baik Ibu. Dia bahkan masih sangat baik pada Ibu setelah Ibu melakukan kesalahan besar padanya. Dia juga sering memberikan Ibu uang saat Ayahmu mengambil seluruh gaji Ibu."

"Berarti dia orang baik? Dia tidak jahat seperti Ayah?"

"Dia baik. Dia tidak seperti Ayahmu."

"Kalau begitu aku ingin dia jadi Ayahku."

Ibu terkekeh namun bersamaan dengan itu Xeron bisa melihat air mata Ibu. Dihusapnya wajah Ibu dengan raut bingung. "Kenapa Ibu menangis?"

"Tumbuhlah menjadi anak yang baik, Xeron. Jangan menjadi orang jahat seperti Ayahmu. Mau berjanji pada Ibu untuk selalu menjadi Putra terbaik Ibu?"

Tanpa pikir panjang Xeron langsung mengangkat jari kelingkingnya pada Ibu, "Janji. Aku akan selalu jadi anak yang baik untuk Ibu."

Xeron membuka mata. Langit-langit kamar yang terlihat buram menyadarkannya dari mimpi. Rasa bersalah langsung singgah dengan cepat. Mimpi itu seolah menyadarkan bahwa dia sudah melanggar apa yang dia janjikan kepada Ibunya dua puluh dua tahun yang lalu. Bahwa dia gagal menjadi Putra terbaik Ibu, dia justru menjadi bajingan seperti Ayahnya.

Happier Than EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang