"Xeron, apakah perutmu bermasalah?" Itu adalah pertanyaan dari Veronica ketika mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Dia bangkit dari tempat tidur untuk menghampiri Xeron yang wangi sabun mandi.
"Aku baik-baik saja."
"Lalu kenapa lama sekali di kamar mandi?"
"Ya, mandi."
"Apakah kau sudah memuntahkan seluruh spageti yang kau makan?" Wajah panik Veronica membuat Xeron menarik sudut bibirnya. Jarang-jarang Veronica menunjukan kekhawatirannya secara terang-terangan seperti ini. "Atau kau merasa mual sekarang? Xeron, katakan sesuatu."
Xeron meraup kedua sisi wajah Veronica hingga kedua mata mereka bertemu. "Sebegitu takutnya kehilangan aku ya?"
"Ha? Biasa saja." Bantahnya. Ternyata gengsi Veronica masih saja setinggi langit. "Aku hanya tidak mau besok ada headline yang berjudul 'Veronica Estella telah membunuh suaminya sendiri dengan meracuni makananya' pada koran maupun televisi. Kan tidak lucu, Xeron!"
Berbanding terbalik dengan kecemasan Veronica, Xeron justru tertawa. Bagi Veronica tidak ada yang lucu. Sejak tiga puluh menit yang lalu—setelah Xeron masuk ke dalam kamar mandi—Veronica bolak balik di depan pintu sambil sesekali menempelkan telinga disana hanya untuk memastikan masih ada suara aktivitas Xeron di dalam sana. Dan bisa-bisa pria itu tertawa setelah keluar dari kamar mandi? Sialan.
"Berhenti tertawa. Tidak ada yang lucu!" Sentaknya. "Aku tidak habis pikir, mengapa kau harus membohongiku dengan memuji masakan buatanku enak? Aku tidak masalah menanggung malu jika kau berkata masakan buatanku seperti sampah, dari pada aku harus melihatmu jatuh sakit lagi seperti kemarin-kemarin. Aku tidak suka, Xeron!"
"Aku ingin menghargai usaha Istriku."
"Tapi tidak dengan membahayakan nyawamu sendiri. Kalau kau kenapa-kenapa siapa yang repot? Aku. Kalau kau mati siapa yang akan hidup sendirian? Aku juga." Veronica tampak sangat frustasi. "Atau kau sudah bosan hidup dengan gadis manja sepertiku, maka dari itu kau lebih memilih untuk pergi meninggalkanku selamanya, begitu?!"
Xeron langsung memeluk erat Veronica. Pelukan Xeron selalu membuatnya merasa tenang. Veronica yang garang bak singa betina bisa berubah dalam waktu sekejap menjadi seekor kucing rumahan.
Tangan Veronica pun bergerak untuk membalas pelukannya walaupun awalnya tampak ragu-ragu. Dia tidak habis pikir bagaimana Xeron masih bersikap setenang ini padahal dia hampir membuat pria itu celaka akibat spageti sampah buatannya.
Hati Xeron ini terbuat dari apa sih? Bisa tidak Xeron marah sedikit saja? Barang kali menegur Veronica karena masakannya yang tidak enak. Bukan malah bersikap manis dengan memeluknya seperti ini. Kalau begini rasa bersalah Veronica semakin bertambah berkali-kali lipat.
"Sudah mengomelnya?" Xeron memegang kedua pundak Veronica sambil memperhatikannya lekat. Veronica hanya diam dengan mata berkaca-kaca. "Sekarang giliranku yang bicara. Boleh?"
Veronica menganggukan kepalanya.
"Maaf, jika caraku untuk menghargaimu salah. Aku hanya tidak ingin membuatmu kecewa. Jangan pikir aku tidak tahu segala usaha yang kau coba lakukan untuk menjadi Istri yang baik. Ibu bercerita banyak padaku melalui telepon tentang kejadian di hari aku jatuh pingsan. Termasuk kau yang tiba-tiba menangis tanpa ingin memberitahukan alasannya kepada Ibu. Aku tahu, Leah pasti lagi-lagi membuatmu berkecil hati. Dan asal mula perubahan sikapmu pasti karenanya, bukankah begitu?"
Xeron mengangkat dagu Veronica saat gadis itu menundukan kepalanya.
"Apa saja yang sudah Leah katakan padamu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomantizmKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...