"Bagaimana keadaan Ibu sekarang? Apakah sudah lebih baik?"
Veronica meletakan parsel buah-buahan beserta buket bunga mawar tersebut di atas nakas. Ibu menyambut kedatangannya dengan wajah cerita walau kenyataannya wajah cantik wanita paruh baya itu masih sedikit pucat.
"Ibu sudah lebih baik." Kemudian pandangan Ibu teralihkan pada nakas. "Astaga. Kau membawa banyak hadiah untuk Ibu. Seharusnya kau tidak perlu repot-repot, Veronica. Melihatmu datang menjenguk Ibu saja sudah cukup."
"Tidak repot. Aku ingin Ibu cepat sembuh." Veronica mengulas senyum kecil. "Apakah Ibu sudah makan malam?"
Ibu menggelengkan kepalanya. Sedangkan Veronica bergulat dengan batinnya sendiri. Apakah dia perlu menawarkan diri untuk menyuapi Ibu seperti apa yang Xeron lakukan? Tapi dia tidak pernah menyuapi orang lain, biasanya malah dia yang disuapi oleh Bibi Durah walaupun tidak dalam keadaan sakit.
"Kau mau menyuapi Ibu?"
Seolah bisa membaca pikiran, mata Veronica refleks membesar ketika mendengarnya. Astaga, bagaimana ini?
"T-tentu saja. Kalau begitu aku ambilkan makanan untuk Ibu dulu. Tunggu sebentar."
Saat Veronica keluar kamar hendak melangkah menuju dapur, Xeron berjalan dari arah berlawanan sambil membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih. Veronica melirik ke kanan dan ke kiri. Leah sudah tidak ada. Seperti biasa perempuan itu selalu kabur ketika berhadapan dengan Veronica. Benar-benar definisi seorang pengecut.
"Biar aku saja, Xeron." Katanya mencoba mengambil alih nampan tersebut dari tangan Xeron.
"Ya?"
"Biar aku saja yang mengantar makanan untuk Ibu." Veronica merebut cepat nampan tersebut. "Ibu mau aku menyuapinya."
"Ya?"
"Kau ini kenapa sih?"
"Kau bisa melakukannya?" Tanya Xeron ragu-ragu. Veronica merasa diremehkan atas itu. Ya, memang benar biasanya Veronica yang disuapi tapi bukan berarti dia tidak bisa menyuapi kan. "Maksudku..—Biarkan aku saja yang melakukannya. Kau pasti lelah usai pemotretan."
"Ibu ingin disuapi olehku." Veronica memutar tubuh menuju kamar Ibu namun Xeron kembali menahan lengannya hingga hampir membuat nampan di tangannya terjatuh. Untung dia dengan sigap mengeratkan pegangannya. "Apa, Xeron?"
"Kau tidak sedang marah padaku kan?"
"Soal itu kita bicarakan nanti."
"Jangan marah." Ucap Xeron sedikit memelas. "Pertemuan tadi tidak disengaja, aku pikir kau yang datang tapi ternyata Leah datang lebih du—"
"Nanti saja kita bahas. Aku tidak mau bubur Ibu jadi dingin dan tidak enak untuk dimakan." Veronica pikir Xeron akan melepaskan setelah itu tapi nyatanya tangan Xeron masih mencekal lengannya. "Apa lagi, sayang?"
"Ya?"
Veronica melotot. Apa yang baru saja dia katakan? Astaga, dasar mulut sialan. "Keceplosan."
"Tapi aku mau dengar."
"Xeron, bubur Ibu jadi dingin kalau begini terus." Rengek Veronica. Disisi lain dia juga ingin lolos dari kondisi mendebarkan tersebut. Tidak berhenti sampai disana. Xeron melingkarkan sebelah tangannya pada pinggang Veronica, menariknya mendekat lalu mendaratkan kecupan pipinya. Rasanya Veronica ingin membanting nampan di tangannya detik itu juga. "Jangan mulai ya. Ini bukan di apartemen kita!"
"Aku hanya ingin menciummu." Ya memang, tapi efeknya luar biasa bagi Veronica, tidak tahu saja dia. "Aku rindu."
"Sudah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomanceKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...