Xeron berjalan sedikit sempoyongan memasuki rumahnya. Untung dia masih bisa mengendarai mobil dengan benar hingga selamat sampai tujuan padahal dia sedang berada di bawah pengaruh alkohol.
Setelah menghabiskan dua setengah jam di makam Sang Putri, Xeron memutuskan tidak kembali ke kantor. Mencoba menyelesaikan pekerjaan di tengah pikiran yang sedang tidak baik-baik saja bukan pilihan terbaik. Maka dia memutuskan untuk menenangkan pikiran dengan pergi ke sebuah bar kecil dan memesan minuman sepuasnya.
"Xeron, akhirnya kau pulang juga." Ibu menyapanya di meja makan. Aroma menggiurkan masakan Ibu menusuk indera penciumannya. "Ibu sudah memasak cumi saus tiram kesukaanmu. Kita makan bersama-sama ya."
Senyum Xeron terulas. Mungkin dia sudah kehilangan Veronica. Tapi kekosongan yang Xeron rasakan digantikan oleh kehadiran Sang Ibu. Sejak kecil, Xeron tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi satu-satunya orang yang diberikan perhatian, disayangi, dan diperdulikan. Dan sikap Ibu yang seperti ini mampu membuat perasaan Xeron menjadi sedikit lebih baik.
Mereka berdua duduk di meja makan dan menyantap makanan itu dengan lahap. Xeron menatap kursi kosong di depannya. Kursi yang selalu Veronica duduki ketika mereka sarapan atau makan malam. Apakah Xeron masih bisa melihat kehadiran gadis itu di rumah ini lagi?
"Apakah kau sehabis minum alkohol?" Tanya Ibu saat usai mencuci piring bekas dan menghampiri Xeron yang duduk melamun di sofa ruang tamu. Ibu duduk di sebelahnya dan mulai mengendus-ngendus. "Aroma ini berasal dari tubuhmu. Apa yang sudah terjadi, Nak?"
"Aku bertemu lagi dengannya hari ini."
"Veronica?"
Xeron mengangguk, "Di makam Putri kami. Senang sekali rasanya ketika menyadari kami bertiga bisa berkumpul seperti dulu."
"Lalu mengapa kau pulang dengan wajah murung jika itu adalah kabar menggembirakan?"
"Aku merasa tidak lagi memiliki kesempatan untuk membuat dia kembali padaku. Veronica berhak mendapatkan kebahagiaannya walau bukan bersamaku. Tapi aku tetap menahannya dengan tidak menandatangani surat perceraian yang selalu dia kirim padaku. Aku bingung, Bu. Aku sangat mencintainya, aku begitu ingin memilikinya seperti dulu. Tapi, bukankah keegoisanku itu terdengar sangat tidak adil untuk Veronica?"
Ibu menghusap bahu Xeron. Pria itu menoleh pada Sang Ibu dengan wajah sedih dan mata berkaca-kaca. Dia memilih membaringkan kepalanya di atas pangkuan Ibu. Dengan tangan Ibu yang akan menghusap-husap kepalanya seperti saat dia kecil.
"Ibu yakin Veronica juga masih mencintaimu."
"Aku harap juga begitu. Tapi, aku sudah membuat dia merasa trauma. Hidup bersamaku hanya akan membangkitkan luka lamanya. Apa Veronica bersedia merasakan sakit itu lagi?"
"Berhenti berbicara seolah-olah kau adalah orang paling buruk yang tidak pernah membuat dia berbahagia." Husapan Ibu terhenti sejenak. "Terlepas dari semua kesalahan yang kau perbuat, kau juga pernah menjadi alasan mengapa Veronica bisa tersenyum di atas kepedihan akibat Ayahnya yang meninggal dunia lalu saat dia belum mengetahui fakta bahwa Dokter Alicia adalah Ibu kandungnya. Kau menemaninya melewati masa-masa sulit. Kau pernah menjadi alasannya untuk tetap kuat. Kau tidak seburuk itu, Nak."
Xeron menegadah sembari memejamkan kedua matanya jika dia tidak ingin kembali menangis di depan Ibu.
Sekarang dia mulai bertanya-tanya, setelah kesalahan besar yang dia perbuat, apakah semua yang dikatakan Ibu masih berarti untuk Veronica?
"Kau sudah berjuang. Kita sudah berjuang sangat jauh. Menghindari Leah dan Ayah untuk hidup yang lebih baik memang keputusan yang paling tepat. Sekarang jangan sampai kau tidak berbahagia. Yang ingin Ibu lihat adalah Xeron yang dulu. Xeron yang selalu tersenyum ceria. Dan Ibu tahu hanya Veronica yang bisa mengembalikan itu semua. Tolong, jangan menyerah untuk kebahagiaanmu, Nak."

KAMU SEDANG MEMBACA
Happier Than Ever
RomanceKisah tentang kehidupan yang bermusim, tak selalu hangat, terkadang badai juga datang. Berputar bagaikan roda, tak terus menerus di atas, sewaktu-waktu juga akan jatuh ke bawah. Begitulah Veronica Estella mendeskripsikan kehidupannya. Setelah Ayahny...