MENDENGKUS sebal. Bisa-bisanya dia menginap di rumah orang yang selama ini dia hindari.
Bukan sengaja menghindari lebih tepatnya, tetapi orang itu yang memiliki aura intimidatif dan sangat menyebalkan.
"Tengah malem, bisa-bisanya lo ganggu orang," celetuk Adara. Gadis itu sudah kembali ke ruang tamu dengan segelas air putih.
Aletta memutar bola mata. "Sorry, tapi gue gatau kalau penghuni rumah ini itu lo," imbuhnya malas. "Satu-satunya rumah dekat jalan buntu dan hampir dikelilingi pepohonan." Lagi-lagi Aletta memutar bola mata.
Sungguh dia tidak bisa habis pikir tentang itu.
Adara menatap datar Aletta. "Jangan banyak bacot." Terdengar biasa saja tapi di sana terdapat penekanan.
Aletta mengangguk ogah-ogahan. Tanpa izin atau berucap apapun, dia langsung meneguk air yang beberapa detik lalu dibawa Adara. "Thanks," ucapnya kemudian.
Adara berjalan meninggalkan Aletta tanpa menyahuti ucapan gadis itu. Sebenarnya aura mereka hampir sama, walau tetap saja berbeda karena Aletta merasa sulit membuat orang lain merasa terintimidasi. Sedangkan Adara, itu adalah hal yang biasa.
"Mau kemana l—"
"Tidur. Lo pikir gue rela nungguin lo di sini? Lo lupa sekarang jam berapa?" sela Adara ketus.
"Yakali." Jeda. "Gue gimana?" Aletta berdiri dan berjalan mengikuti Adara.
Adara terus melanjutkan langkahnya hingga memasuki kamar membuat Aletta harus berusaha sabar. Bagaimanapun juga, gadis di hadapannya ini telah menolongnya.
Seolah tidak ada Aletta di sini. Setelah mereka masuk, Adara langsung menutup pintu kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur, lalu menutup mata.
Aletta mendengkus. "Kalau gak ngasih gue fasilitas untuk tidur, gak usah so' so'-an bilang gue mau nginep di rumah lo." Gadis itu masih berdiri di depan pintu dengan mata yang tertuju pada Adara yang sudah merebahkan tubuhnya di kasur.
Adara bergeming, dia malah menarik selimut hingga dadanya dan menoleh ke arah Aletta. Tatapannya datar. "Tidur aja."
Lagi-lagi Aletta mendengkus. "Di man—"
"Samping gue."
Setelah mengatakan itu Adara langsung menutup mata kembali.
Aletta tersenyum paksa. Karena enggan tidur bersama Adara jadi dia kembali membuka suara. "Di rumah lo tadi gue liat ada beberapa kamar, gue tidur di sa—"
"Itu bukan kamar." Adara menyela sambil membuka mata.
"Ya terus ruangan apa seb—"
"Bacot. Kalau mau protes pulang aja sana!" usirnya.
"Lo—"
"Apa? Mau maki-maki? Gak tau diri banget lo, udah ditolongin malah ngelunjak."
Hey, di sini siapa yang menyebalkan?
Aletta menggertakkan giginya. Bagaimana dia tidak kesal menghadapi sosok jenius di hadapannya tapi memiliki prilaku dan ucapan yang membuat naik pitam.
Ini yang membuat Aletta malas berurusan dengan Adara. Selalu menyebalkan, untuk Aletta.
Karena mendapati Adara yang merebahkan tubuhnya dengan damai di atas kasur, Aletta memilih keluar kamar dan tidur di sofa saja.
"Mau kemana lo?"
"Balik."
Brak!
Aletta menutup pintu kamar dengan kasar. Tangannya mengepal, namun dia terus berusaha untuk tetap tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...