“SOMBONG, ya, Ra.”
“Tau, tuh, sebel banget. Ditanya gak dijawab, disapa gak dibalas, kayak yang enggak liat kita aja.”
“Coba lo tes sekali lagi.”
“HALLO ADARA! LO MASIH BISA LIAT AKU KAN? KAN KAN KAN?”
Siapa pun, tolong Adara. Gadis itu sudah muak dengan hantu-hantu yang mengganggunya, bahkan mereka dengan sengaja melewati Adara—menembus, dan melakukannya berulang-ulang. Ingin rasanya Adara segera pergi dari rumah sialan ini.
Celena yang sedari tadi memperhatikan Adara, kini melambai-lambaikan tangan di depan wajah gadis itu seraya memanggil namanya, “Adara?”
Adara mengerjap. “E-eh, iya, Tante?”
“Kamu kenapa? Kayak yang gak nyaman gitu. Gak usah canggung kalau sama tante, enjoy aja. Tante gak makan orang, kok,” tutur Celena disertai kekehan pelan.
Iya gak nyaman. “Enggak kok, Tante.”
Entah sudah sekian kali Adara berusaha untuk memaksakan senyumnya dan yang terlihat hanyalah senyum tipis. Adara hanya berusaha untuk menghormati wanita di depannya.
“RIGEL PULANG!”
Atensi Adara dan Celena langsung teralih pada Rigel yang menenteng satu kantong keresek yang berisi buah.
“Kamu beli buah apa, Gel?”
Buah apa? Rigel melihat isi keresek kemudian menjawab, “Berbagai macam jenis buah, Bu. Bahkan buah cangkudu pun ad—”
Celena berdiri dari duduknya dan merampas kantong keresek yang dibawa Rigel. Setelah melihat isinya, mata wanita itu sontak terbelalak. “Kenapa kamu beli buah oplosan gini, Gel?!” todongnya dengan telunjuk yang menunjuk wajah Rigel.
Buah oplosan?
“Soalnya Rigel bingung, Bu. Ibu, sih, gak ngasih tau beli buah apa. Jadi Rigel beli semua buah yang dijual Bang Roki. Lain kali kalau nyuruh itu jangan setengah-setengah, Bu. Biar Rigel gak kebingungan kayak sekarang. Dan seharusnya Ibu—”
“KAMU CERAMAHIN IBU?”
Rigel terkesiap. Laki-laki itu malah tersenyum konyol dan menurunkan telunjuk Celena yang ada di depan wajahnya. “Ibu yang cantik jelita, Ibu jangan marah, ya? Harusnya Ibu bersyukur karena anaknya sudah beranjak dewasa dan bisa mengajak Ibu ke jalan yang lebih bai—”
“Gue pulang.”
Ucapan Rigel sontak terhenti dan menoleh pada sumber suara. Pun dengan Celena yang tiba-tiba lupa pada kekesalannya terhadap Rigel.
Adara sudah berdiri dan bersiap untuk pergi. Rupanya gadis itu terlampau jengah melihat drama ibu dan anak yang sangat konyol.
“Udah sana pulang, Ra. Kita aja gak kuat denger mereka ngoceh terus, dramanya enggak hantuwi banget,” kompor hantu yang sedari tadi berada di sekitar Adara.
“Kenapa pulang, Nak? Tante tadi udah masak lho, kita makan bareng dulu ya?” pinta Celena sambil menyentuh pundak Adara.
Kali ini Adara tidak berusaha untuk memaksakan senyumnya lagi. “Tidak perlu, Tante. Terima kasih.”
“Kok gitu, sih, Ra? Sini lah makan dulu, sebentaaaaar aj—”
“Sebentarnya lo lama.”
Celena menahan tawanya. “Makanya, Gel, jadi anak jangan lelet. Satsetsatset aja susah amat,” sinisnya memojokkan Rigel.
Rigel mendelik. “Yaudah, sih. Rigel anterin ayang dul—”
Plak!
“Nahkan mulai lagi dramanya,” ujar hantu sambil melirik Adara.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...