SENI bela diri bukanlah hal yang mudah. Apalagi yang kini menjadi lawan Anindya Aurelia adalah seorang laki-laki kelas XII G bertubuh atletis.
An mencepol rambutnya asal, membuat beberapa helai rambut turun bebas di wajahnya. Gadis itu melilitkan kain putih panjang pada telapak hingga ke punggung tangan, dengan tatapan yang lurus ke arah sang lawan yang sedang melakukan hal sama.
Senyum meremehkan terbit di laki-laki perwakilan dari kelas XII G yang bernama Genta tersebut. An memutar bola mata, ketika mereka kini saling berhadapan dengan wasit yang menghalang keduanya dengan tangan.
Ketika sang wasit sudah menyatakan mulai, mereka sama sekali belum ada yang menyerang. Hanya tatapan sengit yang terpancar di antara keduanya.
“Ayo, serang gue!” tantang Genta disertai senyum smrik.
An menyunggingkan senyumnya. “Siapa takut,” imbuhnya. Dalam hitungan detik pertama setelah mengatakan itu, An langsung melayangkan pukulan ke pipi Genta.
Bugh!
Genta terkekeh sambil mengusap pipinya. “Kuat juga ternyata, lo.” Setelah mengatakan itu, mereka mulai saling menyerang dan menangkis.
Bugh!
Ujung bibir An sedikit sobek dalam satu kali pukulan. Kali ini mereka tidak bercanda, mereka benar-benar menggunakan kekuatan untuk memenangkan perlombaan ini.
Bugh!
Tidak mau kalah, An menendang tubuh Genta hingga laki-laki itu terdorong ke belakang. Setelahnya, mereka kembali saling menyerang.
Zevan menatap pertandingan itu di kursi penonton, dia sesekali meringis ketika An mendapat pukulan dari lawan. Pun dengan orang di sebelah kanan kirinya yang diketahui sebagai anggota Royal Class. Mereka menyaksikan perjuangan An atas nama Royal Class, namun Vania, Muthia, Arabela, dan Adara tidak bisa melihat karena mereka pun sedang berjuang.
¤¤¤
Tidak sepenuhnya menyaksikan perjuangan An. Vano dan Rigel memilih untuk melihat perjuangan Vania juga. Sempat mengajak yang lain, namun rupanya mereka ingin tetap menyaksikan An.
Di lapang khusus memanah yang beralas tanah ini, tidak seramai lapang utama yang menjadi tempat seni bela diri.
“Itu Vania,” kata Rigel seraya menunjuk salah satu peserta yang sedang menunggu giliran, ketika menyadari Vano yang mengedarkan pandangan.
Vano berdeham sebagai jawaban, lalu menatap sang adik yang akan berjuang atas nama Royal Class. Tatapannya dengan tatapan Vania sempat bersirobok, namun gadis itu terlebih dulu memalingkan wajahnya.
“SEMANGAT, VAN!” teriak Rigel. Dia tahu, Vano tidak akan berani teriak-teriak seperti dirinya.
Terlihat Vania menyunggingkan senyum dan mengangkat jempol.
Sebenarnya saat ini pikiran Vania sedang dibagi dua. Memikirkan tentang memanah dan juga memasak—yang hanya diikuti setelah memanah selesai.
Vania memejamkan matanya sejenak. Berusaha membuat dirinya fokus dan hanya memikirkan tentang memanah. Berusaha untuk tidak memikirkan memasak dan juga ... Vano.
“Semangat memanahnya, Van. Ingat, lo harus fokus. Nama baik Royal Class ada di tangan lo.”
Ucapan Adara beberapa waktu lalu teringat di kepalanya. Nama baik Royal Class ada di tangan lo.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...