----./...--

2.3K 434 80
                                    

MUTHIA menghembuskan napas beberapa kali, ketika netranya mendapati Xenova yang menghampirinya. Terlalu canggung untuk bertemu dengan ayah kandung yang selama ini tidak bertemu, dan justru beda agama.

“Nak,” panggilnya.

“Iya, Pak?” sahut Muthia seadanya. Gadis berhijab itu dibuat tidak enak atas kehadiran Dinda yang mengekori Xenova, bahkan Dinda menyibukkan diri dengan memainkan ponsel.

“Bagaimana dengan tawaran tinggal di rumah saya?” ucap pria itu tanpa tedeng aling. “Kamu—”

“Maaf sebelumnya, Pak. Tapi Muthi gak bisa ...,” sela Muthia cepat. Dinda yang semula menatap ponsel, kini meliriknya dan tersenyum miring.

“Kenapa?” Jeda. “Oh iya, katanya kamu tidak akan kuliah, ya? Saya bisa bantu kamu untuk membiayai kuliah,” tutur pria itu.

Dinda berdecak sebal setelah menatap Xenova dari samping.

“Ng-nggak perlu, Pak. Muthi bisa kerja—”

“Setidaknya kamu terima uang pemberian dari saya,” sela pria itu.

Muthia meneguk ludahnya sendiri. Apalagi ketika Xenova mengeluarkan amplop coklat dan memberikan pada telapak tangannya. Muthia bisa menangkap dengan jelas, bagaimana ketidak sukanya Dinda.

Tidak sempat menolak, Xenova menepuk-nepuk puncak kepalanya dan pergi begitu saja. Dinda belum pergi, gadis itu menatap Muthia dengan tatapan datar cukup lama.

Namun siapa sangka, Dinda menghembuskan napas kasar dan memeluk Muthia yang masih mematung. Cukup singkat, karena Dinda kembali melepaskan pelukan.

“Maaf,” ucapnya singkat. Dinda berusaha untuk memerangi egonya sendiri. “My sister?” lanjutnya ragu.

Dari tanggal kelahiran, hanya berbeda beberapa minggu. Itu pun lebih dahulu Dinda daripada Muthia.

Muthia tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Muthi juga minta maaf, ya. Maafin Muthi sering ngerepotin,” tuturnya.

Dinda merangkul Muthia dan berjalan bersama. “Permintaan maafnya diterima,” sahut Dinda disertai kekehan.

Tepat pada detik itu, Dinda mencoba untuk berdamai dengan egonya sendiri. Lagipula, Deswita sudah tidak menyinggung keberadaan Muthia setelah dirinya menyetujui tentang perjodohan bersama Meteor.

Tunggu, apa tadi? Perjodohan?

Dinda tidak sadar, jika dirinya mulai memiliki rasa dengan laki-laki yang katanya brengsek itu.

¤¤¤

Zevan tidak henti-hentinya mengomel ketika mendapati tangan An yang terluka. Laki-laki itu mengobati tangan kekasihnya, dan membungkus menggunakan perban.

Tidak ada yang menjadi canggung setelah Zevan dan An menjalin hubungan pacaran. Tidak seperti orang-orang yang katanya lebih bebas bersikap ketika berteman daripada berpacaran. Itu tidak berlaku pada keduanya, karena justru An menjadi lebih petakilan.

“Zev, jadi cowok gentle dikit napa,” oceh An setelah Zevan berhenti mengomel. “Belajar bela diri, gih, biar keren dikit,” lanjutnya seraya menusuk-nusuk pipi Zevan.

“Jadi menurut lo yang gentle itu, yang bisa bela diri aja, An?” sahut Zevan, membuat An menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Gak gitu, kampret!”

Zevan mengusak kepala An, kemudian mengulas senyum. “Setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing, An. Jadi jangan singgung soal itu, oke? Gue pernah belajar bela diri, kok, tapi berakhir tubuh gue sakit semua,” ungkapnya.

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang