--.../...--

2.2K 431 52
                                    

ALETTA sama sekali tidak mengerti mengapa Rigel dan Arabela bisa sedekat itu. Juga tidak mengerti mengapa Rigel dan Vano bisa bertengkar karena Adara.

Tadi apa katanya, nyawa taruhannya? Memang apa yang dibuat Rigel sehingga Vano bisa semarah itu? Padahal sejak pagi, Aletta belum melihat batang hidung—

—sudah. Aletta tidak sengaja berpapasan dengan gadis yang memiliki aura intimidatif itu. Gadis yang berjalan angkuh seolah tidak terjadi apa-apa, bahkan ketika di belakangnya banyak murid jurnalistik yang mengejar untuk mengorek lebih dalam berita tentang Adara.

Adara menghentikan langkah ketika murid jurnalistik menghadang jalannya. Sedangkan Aletta membalikan badan, guna untuk melihat Adara dan para murid jurnalistik itu berinteraksi.

Aletta dapat mendengar banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh mereka dan Adara hanya diam saja, sebelum akhirnya wajah para murid jurnalistik tiba-tiba menjadi pucat.

Emang Adara apain mereka? batin Aletta heran. Kemungkinan yang persentase kebenarannya paling tinggi, adalah Adara yang menatap mereka dengan tatapan intimidasi seolah ingin menerkam siapa pun.

“R-ra b-bisa jawab pertanya—”

“Gak.”

Aletta merotasikan bola mata mendengar itu. Sejak awal Adara terlalu menyembunyikan identitasnya, dan gadis itu tidak akan memberi tahu apa pun jika bukan dalam keadaan mendesak.

“Pergi. Atau gue lapor ke pembina kalian kalau kalian gak menghargai hak narasumber, hm?” Terdengar rendah namun murid jurnalistik serentak menggelengkan kepalanya.

Kali ini Aletta mendengkus geli. Adara itu pandai mengancam, dan sintingnya yang diancam selalu terpengaruhi.

“Sana pergi!” sentak Adara, dan saat itu juga para murid jurnalistik langsung berjalan cepat meninggalkan Adara.

Aletta dapat mendengar hembusan napas Adara yang tidak teratur karena di sini suasana cukup sepi. Lumayan lama, sebelum akhirnya Adara membalikan badan, menatap Aletta, kemudian bersidekap dada dengan angkuh.

“Seharusnya lo pergi bersamaan dengan mereka yang gue usir,” sarkas Adara.

Aletta justru ikut bersidekap dada dan melangkah mendekat. “Seharusnya—”

“Apa, hm? Mau memutar balikkan fakta atau mau mengelak dengan cara bermain kata?” Aletta mengumpat dalam hati mendengar itu.

Adara terkekeh pelan, lalu mencondongkan tubuh ke hadapan Aletta. “Jangan mau tau apa pun, karena gue gak bakal ngasih tau,” bisiknya.

Dalam hitungan milidetik Adara langsung menegapkan kembali tubuhnya dan air mukanya berubah datar. Dia dengan cepat meninggalkan Aletta yang mematung di koridor, sendirian.

Teng teng tong teng ...
Saatnya berganti pelajaran.

Aletta mengerjap. Bukan tentang ucapan Adara yang dipikirkannya, bukan tentang segala tingkah angkuh dan menyebalkan gadis itu, atau tentang dirinya yang sudah membolos pada jam pelajaran pertama. Melainkan tentang aroma mulut Adara ketika berbicara tepat di hadapannya.

Adara ... merokok?

¤¤¤

Duduk di ruang kepala sekolah dalam kondisi seperti ini bukanlah hal yang baik. Dimulai dari menjawab semua pertanyaan Pak Antonio hingga kini mereka diceramahi.

Sebenarnya Rigel tidak mendengarkan ceramah Pak Antonio yang bahasanya terlalu berat, yang kalau didengarkan pun Rigel tidak akan mengerti semuanya. Paling Rigel hanya bisa menyimpulkan satu; tidak boleh bertengkar seperti tadi di area sekolah karena itu sangat memalukan.

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang