VANO menghembuskan napas panjang dan memilih untuk pergi menuju lapangan basket. Berusaha mengeluarkan segala emosi yang sudah terlalu lama berkecamuk pada dirinya.
Mulai memantulkan bola pada lantai semen, baru saja hendak melempar bola tersebut ke arah ring secara asal, gerakan Vano terhenti ketika ujung matanya mendapati sosok Adara.
Gadis itu sedang mendribble bola.
“Ra, lo jangan ikutan. Nanti kecape—”
“Gak peduli,” potong Adara, kemudian melempar bola ke dalam ring, dan berakhir meleset jauh.
Adara berdecak pelan. Dikarenakan dirinya memakai rok, sehingga dia tidak bisa bergerak bebas.
Vano menyunggingkan senyumnya. “Lo—”
“Jadi Vano yang gak banyak omong, bisa?” sela Adara, kemudian mendengkus. Gadis itu berjalan mengambil bola basket yang menggelinding lumayan jauh.
“Kalau sama lo gak bis—”
“Bisa.” Adara lagi-lagi menyela. Dia melempar bola dan langsung ditangkap oleh Vano, sementara bola yang tadi dipegang oleh Vano dibiarkan menggelinding begitu saja.
Adara mengatur napasnya, kemudian memilih untuk meninggalkan lapangan basket. Vano mengikuti, namun Adara tidak peduli.
Hingga mereka tidak sengaja berpapasan dengan Zevan dan Arganitra. Pria itu memanggil keduanya, sehingga mau tidak mau mereka menghentikan langkah.
Ada tatapan yang berarti di antara Arganitra, Adara, dan Vano. Zevan bingung dibuatnya. Baru saja hendak bertanya, Arganitra terlebih dahulu berucap, “Bagaimana kabarmu hari ini?”
“Baik. Itu doaku untuk hari ini,” balas Adara dengan nada datarnya.
Itu sebuah basa basi.
“Kalian saling kenal?” beo Zevan.
“Gak ada yang gak kenal sama gadis jenius ini, Zev,” sahut Arganitra disertai kekehan, bahkan pria itu tanpa sengaja menepuk kepala Adara dua kali.
Adara bergeming. Jika semesta mengizinkan, Adara memilih memiliki ayah seperti Arganitra, bukan seperti Hugo.
“Ad—”
“Pak—”
Adara dan Arganitra langsung menghentikan ucapan ketika tanpa sengaja mereka memanggil secara bersamaan.
Adara tersenyum tipis. “Oh, maaf, Pak. Saya tidak bisa berlama-lama di sini,” katanya dengan tatapan intimidasi yang terarah pada pria itu, seolah mengisyaratkan sesuatu.
Arganitra mengangguk. Sementara Adara menarik lengan Vano untuk segera pergi. Ketika melewati pria itu, Adara berbisik, “Tolong jaga amanah saya.”
¤¤¤
Muthia menatap buku rapor dengan tatapan nanar. Setelah Xenova mengatakan bahwa dirinya adalah anak pria itu, Dinda langsung pergi dengan tatapan kecewa yang tertuju padanya. Xenova menepuk pundak Muthia dua kali, setelah itu langsung mengejar Dinda.
Muthia ditinggalkan setelah diberi sebuah kejutan.
Gadis yang kini duduk di kursi kantin umum paling pojok itu, kalut dalam pikirannya sendiri. Tidak ada niatan untuk membantu Bu Tuti untuk berjualan, atau menyapa para pedagang di kantin ini. Muthia bingung, setelah ini dia harus bersikap bagaimana.
Sedikit banyak Muthia tahu tentang Dinda, karena dia sering mengunjungi rumah Dinda jika hendak meminjam atau membayar utang. Waktu itu, Muthia tidak sengaja melihat Dinda sedang dimarahi oleh ibunya, dan samar-samar Muthia mendengar bahwa mereka mempermasalahkan perkara saudara.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...