MENGHENTIKAN motor di depan kediaman Wijaya. Meteor turun, pun dengan Adara. Tanpa banyak bicara, Adara membantu Meteor untuk berjalan hingga depan pintu rumah.
Bahkan sampai saat ini, hujan masih mengguyur bumi dengan begitu deras.
“Sejak kapan lo tau rumah gue, Ra?” tanya Meteor pelan.
Tok, tok, tok!
Adara mengetuk pintu, tanpa mempedulikan pertanyaan dari Meteor. Hingga pintu terbuka menampakkan sosok Wijaya, Adara langsung berucap. “Ini anaknya, Pak. Segera bawa ke psikiater, dan saya pinjam motor Meteor, ya,” ujarnya cepat tanpa memberi waktu Wijaya bertanya.
Wijaya menerima Meteor lalu berucap, “Terima kasih.”
Gadis itu membalas dengan anggukkan, dan kembali membiarkan hujan mengguyur tubuhnya. Kembali menaiki motor, dan melesat pergi tanpa menoleh lagi ke arah Wijaya dan Meteor.
¤¤¤
Beberapa orang menikmati hujan yang turun membasahi bumi, salah satunya Vano Cassandra. Laki-laki itu duduk di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi panas, juga bau tanah yang menyeruak ke hidungnya.
Terlalu banyak yang dipikirkan oleh laki-laki itu, bahkan rasanya ingin lenyap saja dari semesta.
Namun, netranya melihat sebuah motor sport yang melintas di jalan dengan kecepatan rata-rata. Setelah beberapa detik mengenali siapa yang mengendarai motor tanpa menggunakan jas hujan tersebut, Vano langsung berlari masuk ke dalam kamarnya. Menyambar kunci mobil, dan bergegas keluar dari kamar.
Dengan perasaan khawatir sekaligus kesal di dalam hati, Vano menuju garasi dan mengendarai mobil miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata. Berniat untuk mengejar orang yang tadi mengendarai motor di tengah hujan deras seperti ini.
Tid, tid, tid!
Pengendara motor itu menoleh ke belakang, setelahnya malah mempercepat laju motor. Mendapati hal tersebut, Vano ikut mempercepat laju mobilnya seraya membuka jendela mobil.
“ADARA! BERHENTI DONG, RA!” teriaknya.
Sang pemilik nama sama sekali tidak memperlambat laju motor, justru semakin cepat.
Tid, tid, tid!
Hingga Vano berhasil menghadang jalan, dan Adara mengerem motor secara mendadak. Nyaris terjungkal.
Vano turun dari mobil, kini hujan ikut mengguyur laki-laki yang menghampiri Adara seraya berteriak, “GAK USAH BANDEL BISA GAK, RA?!”
Dengan gerakan cepat laki-laki itu mencabut kunci motor dan melepas helm yang Adara kenakan. Gadis itu sama sekali tidak membantah, bahkan menurut ketika Vano memintanya masuk ke dalam mobil.
Setelah Adara benar-benar duduk, Vano menutup pintu mobil dan berjalan mengampiri motor. Menatap motor tersebut sejenak, kemudian memarkirkan di sisi jalan. Tentu saja Vano mengenali motor tersebut, kendaraan yang sering digunakan oleh Meteor. Pertanyaannya, mengapa Adara bisa mengendarai motor milik Meteor?
Mengusap air yang mengalir di wajah, lalu kembali memasuki mobil. Dia melirik Adara sekilas, tanpa berucap banyak laki-laki itu langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Menuju rumahnya.
Hening menerpa keduanya, bahkan hingga Vano menghentikan mobil di dalam bagasi. Laki-laki itu menuntun Adara untuk keluar dari mobil, dan mengajak memasuki rumahnya. Atau yang lebih tepat, kamarnya.
“Bokap lo ada?” Adara membuka suara, setelah sedari tadi hanya diam dan memperhatikan nyaris semua yang dilakukan Vano.
“Belum pulang. Cuma ada Vania di dalam,” jawab Vano seadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...