--.../....-

2.1K 461 133
                                    

ADA banyak hal yang tidak bisa diceritakan dengan kata-kata, termasuk bagaimana rasa ketika Zevan tiba-tiba dihampiri oleh Arganitra kemudian bercengkrama. Zevan tidak pernah membayangkan dirinya akan sedekat itu. Walaupun sejak dulu jika dibandingkan dengan Zena, Arganitra lah yang masih memperhatikan putra tuggalnya.

Bahkan saking lamanya tidak berkomunikasi, Zevan lupa panggilan apa yang dulu sering dilontarkan kepada orang tuanya.

Papa? Papi? Ayah? Daddy? Atau apa?

Zevan terlalu sering menceritakan orang tuanya kepada An dengan sebutan ‘bokap dan nyokap’.

“Zev,” panggil pria yang kini duduk di sampingnya. Arganitra menyesap kopi, dan tatapannya lurus ke depan. Tampak menerawang.

Zevan menyahut setelah menghentikan tawa dikarenakan lelucon Arganitra sebelumnya. “Ya?”

“Kalau misalkan Papa—”

Oh jadi panggilannya ‘Papa’. Zevan tersenyum kikuk atas kekonyolannya sendiri.

“—pisah sama Mama, kamu mau pilih sama siapa?”

Deg!

Rasanya seperti terjun dari ketinggian, kemudian menabrak aspal sehingga tubuh menjadi hancur berkeping-keping. Pasokan udara di sekitar Zevan seolah mengilang, karena laki-laki itu merasakan sesak luar biasa. Dadanya seperti dihimpit beton dan kepalanya tiba-tiba sakit.

Bagaimana, bagaimana tentang harapan mempunyai keluarga harmonis?

Hancur sudah harapan Zevan yang selama ini disimpan.

“Zev?” Arganitra menoleh, mendapati anaknya yang terdiam dengan menggigit bibir bawah dan napasnya tidak beraturan.

Pria itu tersenyum tipis, kemudian merengkuh tubuh anaknya, menepuk-nepuk punggung guna menenangkan, lalu berbisik, “Papa sayang kamu.”

Tangis Zevan pecah saat itu juga. Zevan memeluk Arganitra sembari sesenggukan. Sungguh, tidak ada Zevan yang berwibawa, tidak ada Zevan yang petakilan, tidak ada Zevan sang prince charming yang selalu menjaga image.

Hening menyapa keduanya. Yang terdengar hanya suara tangis Zevan yang kian lama kian memudar. Bahkan kini, napas Zevan kembali beraturan dan tertidur dipelukan Papanya. Senja kala itu, mereka benar-benar hanyut dalam duka yang diciptakan masing-masing.

Hingga adzan magrib berkumandang, Arganitra menepuk-nepuk punggung Zevan. Detik di saat senja semakin indah sebelum lenyap dikalahkan malam, Zevan terbangun. Laki-laki itu masih mengumpulkan kesadarannya namun Arganitra tiba-tiba berucap, “Kita salat magrib berjamaah, yuk?”

Mengerjap. Untuk pertama kali setelah Zevan menginjakkan kaki di masa SMA, Zevan diajak untuk salat berjamaah oleh Papanya.

Zevan langsung mengangguk, dan berjalan mengikuti Arganitra memasuki rumah. Diam-diam Zevan berharap, bahwa mereka akan kembali melaksanakan salat berjamaah bersama Zena.

¤¤¤

Muthia menatap cermin dan bersiap untuk bekerja. Hari minggu ini, Muthia mendapat shift pagi karena sekolah tentu saja libur. Gadis itu melihat kalender, dan matanya terbelalak sampurna.

Hari ini tanggal satu!

Dalam otak Muthia, yang terbayang adalah seluruh soal try out, pelaksanaan try out, mempelajari materi untuk try out, semua tentang try out.

Sinting. Bagaimana dengan try out kali ini? Besar kemungkinan, try out 5 akan dilaksanakan besok tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu seperti biasanya. Namun yang dikhawatirkan adalah posisi Muthia dalam urutan peringkat TO nanti. Jika keluar dari sepuluh besar, beasiswa Muthia dicabut.

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang