“SUMPAH pusing gue!” An mengacak rambutnya frustrasi.
Sudah menghabiskan waktu setengah jam namun masih belum bisa keluar dari labirin ini. “Kira-kira, Rigel sama yang lain udah keluar belum, ya?” celetuk Arabela.
An menoleh, dirinya juga bertanya seperti itu dalam hati. “Gak tau.”
“Ini ke berapa kali kita ngelewati jalan yang sama?” tanya Meteor, laki-laki itu juga mulai putus asa.
Arabela menggeleng lemah, dan bersandar pada rak. Dia baru menyadari jika, ruang perpustakaan ini lumayan luas, apalagi di-desain seperti labirin. “Lima belas kali?”
“Lebih,” tukas An. Gadis itu duduk menekuk lutut dengan punggung yang bersandar pada rak.
“Ada jalan pintas, gak?” Pertanyaan konyol itu lolos keluar dari mulut Meteor.
An terkekeh pelan. “Ada. Lompat aja ke atas, jalan di atas rak. Atau, ambil semua bukunya biar kita bisa lihat jalan di balik rak.”
“Ntar di-diskualifikasi.” Meteor ikut terkekeh setelah menyahut.
Sedangkan Arabela, berusaha untuk berpikir. Ruangan yang sering mereka kunjungi ini, tiba-tiba menjadi sangat as—eh?
Arabela mendonggak. Dia ingat AC yang ada di atas pintu berbeda dari yang lain, AC itu memiliki merk yang berbeda. “Aku tau jalan keluar!”
Meteor refleks menoleh dan An langsung berdiri. “Gimana-gimana, mau lewat jalan pintas?” seloroh An.
Arabela menggeleng. “Ikutin aku.” Arabela berjalan dengan kepala yang terus mendonggak.
Meteor ikut-ikutan mendonggak. “Di atas ada apa?”
“Bintang,” jawab Arabela asal, membuat Meteor mengacak kepala gadis itu gemas.
An merotasikan bola matanya. Sedari tadi dia berusaha sabar menjadi nyamuk di antara Meteor dan Arabela. Dan ini sangatlah tidak menyenangkan.
Arabela menghentikan langkah, membuat Meteor menabrak punggung Arabela dan An menambrak punggung Meteor.
“Kenapa?” tanya An.
“Kok jalannya buntu?” Detik itu juga An langsung menerobos ke depan, menyuruh Arabela ke belakang.
An menatap rak di hadapannya. Sedari tadi mereka memang sering mendapati jalan buntu, namun anehnya kali ini mereka enggan untuk mengambil jalan lain. Walau An merasa, mereka pernah menemui jalan buntu ini, tadi.
Di rak ini, semua buku memiliki angka.
An hendak mendorong rak itu, tidak peduli jika terjungkal, namun Arabela menahan tangannya.
“Bentar-bentar.” Arabela menarik pita merah yang mencuri perhatiannya, pita itu berada di antara beberapa buku.
“Loh, ada kertasnya!” An merasa, mereka akan segera keluar dari tempat laknat ini.
5×2÷7×10×9×0×7÷30=?
“Met, hitung Met!” titah An seenak jidat. Otak An sedang tidak bisa diajak kompromi saat ini.
Sebenarnya Meteor juga. Biasanya mereka bisa menghitung di luar kepala jika soal perkalian dan bagian seperti ini. Namun dikarenakan mereka telah terlampau lelah gara-gara dipermainkan oleh labirin, otak mereka jadi loading.
Mata Arabela memicing, menatap angka-angka tersebut. Baru saja Meteor hendak menghitung, Arabela mengangkat sebelah tangannya. Mengisyaratkan untuk berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...