DINDA benar-benar tidak habis pikir dengan semua yang terjadi belakangan ini. Terlalu cepat, dan berada jauh di luar prediksi. Bahkan kepercayaan Dinda kepada teman-temannya hilang mulai detik ini, dan entah sampai kapan.
Pak Jayen marah, setelah Rigel kembali dan mengetahui nyaris dikeluarkan dari Blue High School. Pria itu tidak habis pikir dengan murid Royal Class yang menjadi berantakan, sering membuat ulah.
Pria itu ikut malu, sebagai wali kelas.
Lalu setelah Pak Jayen pergi, murid Royal Class malah saling menyalahkan, lagi.
Bodoh.
“Woy!”
Dinda terlonjak. Meteor membuat dirinya terkejut. “Apaan, sih, lo?!” dampratnya.
Laki-laki itu malah nyengir. Hal tersebut membuat Dinda mendelik seraya berucap, “Gak jelas banget, sih, lo.”
Meteor tiba-tiba merangkul pundak Dinda, dan mengajak pulang bersama. Tentu saja rangkulan Meteor langsung ditepis oleh Dinda.
“Gue bawa mob—” Ucapan gadis itu terhenti ketika netra matanya mendapati Pio berdiri di hadapan.
“Mobilnya biar saya yang bawa, Non,” katanya.
Dinda menatap Meteor, butuh penjelasan. Namun laki-laki itu malah menarik tangan Dinda menuju motornya. Dengan inisiatif sendiri, dia memakaikan helm di kepala Dinda. “Ditunggu bokap, di rumah. Katanya, kalau lo gak mau nanti mobil lo disita.”
Dinda nyaris baper. Namun, rasa itu langsung terbang jauh ketika mendengar kalimat terakhir. Gadis itu berdecak pelan sementara Meteor sudah menaiki motor. “Keluarga kita, tuh, dikit-dikit ngancem. Dikit-dikit ngancem,” cibirnya.
Meteor mengangguk setuju, dan mengisyaratkan supaya Dinda naik ke motornya. “Nah kalau mau aman, nurut aja.”
Menghembuskan napas pasrah, setelah Dinda menaiki motor. Tanpa basa-basi lagi, Meteor melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata.
“ANJING! PELAN-PELAN, DONG! I STILL WANT TO LIVE!” teriak Dinda seraya menepuk-nepuk pundak Meteor.
“GAK USAH BACOT, KALAU MAU PELUK YA PELUK AJA!”
JDUG!
Meteor meringis ketika Dinda memukul helm yang dia kenakan. Laki-laki itu memilih untuk diam dan terus melajukan motor tanpa mempedulikan Dinda yang meminta memperlambat laju motor.
Hingga mereka sampai, dalam waktu singkat.
“Fuck you!” umpatnya seraya turun dari motor dan membuka helm.
Meteor malah mengedikkan bahu dan berjalan memasuki kediaman Wijaya, diikuti oleh Dinda yang masih nengumpati Meteor. Keduanya langsung menghampiri Wijaya yang ternyata berada di taman belakang rumah, tempat favorite Meteor.
“Hai, akhirnya kalian datang juga,” sambut pria itu disertai senyum hangat.
Dinda membalas senyum dan mengangguk, kemudian duduk di sebelah Meteor yang sudah duduk terlebih dahulu tanpa mempedulikan sapaan dari Wijaya.
“Bagaimana kabarmu, Nak?” tanyanya pada Dinda.
“Baik,” jawab Dinda seadanya.
“Sekolah kalian bagaimana, lancar?”
Meteor menghembuskan napas panjang, membiarkan Dinda yang menjawab semua pertanyaan Wijaya dan menyahuti semua ucapannya. Pembicaraan ini cukup monoton untuk seorang ayah dan anak. Terlalu kaku, dan Meteor benci itu.
Hingga dering ponsel Wijaya terdengar, pria itu langsung izin pergi untuk mengangkat telepon. Meteor meregangkan tubuhnya, dan bersorak.
Tampak terbebas dari tekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...