“DALAM kesehatan terdapat kebebasan. Kesehatan adalah hal yang paling pertama dalam semua kebebasan.” –Henri Frederic Amiel
Bersyukur jika kamu sehat, dan jagalah tubuhmu. Dan jika tubuhmu sakit, maka rawatlah hingga tubuhmu kembali pulih. Karena percaya atau tidak, kesehatan itu adalah kunci utama dari sebuah kebebasan.
Sakit apa pun. Entah fisik maupun mental, itu tetap akan berpengaruh pada kebebasan. Seperti halnya An, yang sudah tidak bebas berbicara banyak karena selalu merasakan perih di ujung bibirnya yang sedikit sobek.
Gadis itu tampak anggun, ketika tidak banyak berbicara seperti ini. Bahkan Zevan, sedari tadi tidak bosan-bosan mengganggu An.
“Lo bisa diem gak, sih?” An mendelik sinis, ketika Zevan malah tersenyum tengil. Gadis berambut sebahu itu langsung memalingkan wajah ke arah Adara yang sedang meneguk air mineral.
“Adar—”
“Gue mau ngomong sesuatu, penting.” Dinda yang baru saja berbicara, tidak sadar jika ucapannya memotong ucapan An.
Gerakan makan mereka berhenti saat itu juga ketika menyadari ucapan Dinda memiliki nada serius. Saat ini mereka sedang berada di kantin khusus Royal Class, mereka memilih untuk mengisi perut daripada menonton pertandingan basket kelas lain.
Hening. Hingga Dinda berdeham. Rupanya gadis itu bingung hendak bicara bagaimana.
“Cepetan dong, Din,” gerutu Rigel.
Dinda menghembuskan napasnya. “Flashdisk hilang.”
Bergeming. Mereka belum bisa mencerna dua kata yang diucapkan oleh Dinda dengan suara lirih. “Flashdisk yang isinya ada video pertunjukan kita, hilang,” ulang Dinda.
Brak!
Mereka terlonjak, ketika Aletta tiba-tiba mengebrak meja dan memberikan tatapan tajam ke arah Dinda. “Apa lo bilang, hilang?!”
Dinda menggertakkan giginya, berusaha mengendalikan emosi. “Iya, hilang.”
“Kamu gak bercanda?” tanya Arabela memastikan. Mereka tiba-tiba kehilangan selera makan.
Dinda menggeleng lesu. “Gak bercanda.”
Terlihat Zevan yang memejamkan matanya, juga An yang sudah mengomel dengan suara pelan. Sedangkan sisanya, masih berusaha untuk mencerna.
“Lo lupa nyimpan atau gimana?” Nada ucapan Vania terdengar datar, seperti tidak peduli. Berbeda dengan yang lain, yang setiap ucapan terdapat nada kesal atau apa pun.
“Hilang, bukan salah nyimpan,” balas Dinsa cepat. Meteor menganggukkan kepalanya guna membuat yang lain percaya ucapan Dinda.
“Tadi waktu kalian ibadah, Dinda sampai obrak-abrik ruang Royal Class. Semua isi tas dia juga sampai dikeluarin,” tuturnya.
“Apa jangan-jangan, digondol tikus?” celetuk Muthia konyol. Berniat ingin melawak sialnya malah diberikan tatapan datar oleh yang lain.
Atensi mereka teralih pada Adara yang tiba-tiba meninggalkan kantin tanpa berbicara apa pun, diikuti oleh Vano, Aletta, An, dan terakhir Vania. Yang tersisa adalah Meteor, Arabela, Muthia, Rigel, Zevan, dan tentunya Dinda.
Dinda berdiri dari duduknya dan menendang meja. “Terserah mau percaya sama gue atau enggak, yang jelas gue gak bohong.” Setelah mengatakan itu Dinda ikut pergi dari kantin dengan tangan yang terkepal kuat.
¤¤¤
“Ra.”
Adara menghentikan langkah, tepat setelah teman kelas yang lain mengambil jalan yang berbeda. “Gak usah sok peduli.”
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...