Cari tempat ternyaman, kemudian bacalah.
Nikmati dengan hati, bukan sekedar membaca lalu nanti lupa lagi.
¤¤¤
AMORFATI.
Menurut Giovano A Brillian, mencintai takdir adalah seni tertinggi menjadi manusia. Saat kita telah mampu mencintai takdir, maka segala yang datang hendak mengecewakan apa pun, hendak semenyakitkan apa pun, tidak akan lagi menjadi masalah.
Tugas kita adalah berusaha, kewajiban kita adalah berdoa, selanjutnya adalah berpasrah. Saat apa yang kita jalani tidak mencapai hasil sesuai apa yang kita harapkan, maka sebatas itulah kemampuan kita dalam meraih, dalam mencapai, dalam menanti dan berproses. Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk kita, jangan lupa tersenyum dan belajarlah menerima semuanya.
Saat ini, Zevan belum bisa mencerna hal yang kini dilihatnya. Mata laki-laki itu menyiratkan jika dia butuh penjelasan, apalagi pria yang diketahui sebagai ayahnya sedang berbicara dengan gadis yang berbaring lemah di atas brankar.
“Kamu sengaja meminta suster untuk menelepon saya dan bilang bahwa kamu kabur, supaya saya segera ke sini?” tanya Arganitra.
Pria itu menggeleng-gelengkan kepala. “Ada-ada saja, untungnya kondisi kamu masih stabil.” Jeda. “Kamu rindu saya, ya?” candanya.
Yang diajak bicara hanya tersenyum samar tanpa menjawab pertanyaan, kemudian dia melirik Zevan yang berdiri dengan tampang kebingungan. “Kayaknya gue gak minta lo ikut, Zev,” sarkasnya.
Arganitra yang menjawab, “Saya yang ajak.”
Zevan mendelik, kemudian mendekat ke arah brankar. Laki-laki itu menatap seorang gadis berhijab yang duduk di kursi, gadis yang hanya menyapa ketika mereka masuk dan tidak berucap apa pun lagi. Itu Muthia.
“Kok lo gak ngasih tau kalau lo sakit, sih, Ra? Muthia aja dikasih tau, kok gue enggak?” Bukannya khawatir, Zevan malah berucap sewot tanpa beban.
Iya, Adara.
“Emang lo siapa?” sarkasnya.
Baru saja Zevan membuka mulut untuk membalas ucapan Adara, pintu ruangan ini terbuka. Vano memasuki ruangan, dengan melontarkan tatapan dingin ke arah Zevan.
Laki-laki itu menyalami Arganitra, menyapa Muthia, kemudian menyapa Adara. “Gimana kabar lo hari ini? Sorry baru dateng lagi, kemarin—”
“It's okay,” sela Adara. “Alhamdulillah kabar gue baik,” lanjutnya.
Vano tersenyum, laki-laki itu mengusap kepala Adara setelahnya kembali berucap. Butuh waktu beberapa detik untuk menyimak Vano dan Adara berbicara hingga keberadaan Zevan kembali diakui. Itu pun hanya sebatas—
“Ikut Papah sebentar, Zev.”
—ajakan untuk meninggalkan ruangan ini.
Zevan menurut, walau sebenarnya ingin sekali melontarkan banyak pertanyaan yang sudah menumpuk di kepalanya. Kakinya terus melangkah mengikuti Arganitra, hingga memasuki sebuah ruangan yang ternyata ruang pribadi pria itu.
“Adara punya penyakit komplikasi, Zev,” ungkap Arganitra tanpa tedeng aling, ketika pria itu sudah duduk di kursi.
“Punya penyakit gagal ginjal kronis—” Pria itu menggantungkan ucapannya beberapa detik dengan tatapan tertuju pada Zevan. “—stadium akhir. Punya riwayat serangan jantung, kemudian—”
“Kenapa gak dioperasi aja? Transplantasi ginjal. Itu akan—”
“Adara-nya gak mau, Zev.” Arganitra mengusap wajahnya, pria itu tampak frustrasi. “Ditambah, dia minta supaya Papah enggak ngasih tahu kondisinya kepada siapa pun. Kecuali kalau dia yang ngasih tau—mungkin ini Papah ingkar janji.”
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...