TERBAYANG dengan jelas kala itu, ketika Adara memeluk pinggang Vano dan segala percakapannya. Vania memejamkan mata sejenak, sebelum membuat anak panah meluncur dengan cepat dan menancap pada target.
“Sama aja dengan divonis mati, Vano.”
Vania menggertakkan giginya, dan menembakkan anak panah untuk kedua kali. Kali ini meleset jauh, karena fokus gadis itu sudah hilang.
“Operasi aja, operasi.”
“Percuma. Kalau udah waktunya mati, ya mati.”
Cekalan tangan pada busur melonggar, berakhir Vania duduk tanpa alas dan menyimpan busur tersebut di samping tubuhnya. Tatapannya lurus ke depan, menerawang.
“Kalau ada apa-apa, jangan selalu bilang ke orangtua lo, Van. Lo enak disayang, tapi lo tau sendiri gimana Vano.”
Menutut Vania, Adara yang waktu itu tidak seperti Adara yang biasanya. Gadis itu bahkan, berbicara panjang lebar untuk menasehati Vania. Walaupun Vania hanya menjawab seadanya karena bingung hendak menanggapi bagaimana.
“Coba berdamai. Bilang sama bokap lo tentang apa-apa kebaikan Vano. Jangan cuma nangis-nangis tapi lo sendiri gak tau arti dari tangisan lo,” sarkas Adara.
“Alexithymia itu mudah diatasin kalau lo mau belajar, belajar mengekspresikan emosi.” Adara mendengus, sementara Vania bergeming. “Gak cuma diem, bahkan lo ditanya punya hati apa enggak,” lanjut Adara.
Sebenarnya Vania heran mengapa Adara bisa setahu itu tentangnya, padahal Vania belum bercerita banyak kepada gadis yang kini duduk di sampingnya.
“Setiap manusia pasti punya hati, tapi mungkin hati lo mati.”
Vania memejamkan mata. Setelah Adara berbicara banyak padanya malam itu—Vano meminta Adara tidur bersamanya, ketika bangun pagi Adara diketahui sudah tidak ada di kediaman Cassandra.
Lalu hingga sekarang, ucapan Adara terus saja terngiang-ngiang di kepala Vania. Apalagi tentang hati yang mati.
Mungkin hati lo mati.
Sebab, hati yang mati akan sulit untuk menerima kebaikan atau berbuat baik. Akan sulit untuk memahami dan memikirkan tentang apa-apa akibat dari perbuatan kita. Akan sulit untuk menyangkal jika hal yang dilihat adalah perbuatan salah.
Padahal, Vania tidak demikian. Dirinya hanya kebingungan untuk berekspresi. Vania butuh dituntun. Harus berekspresi bagaimana ketika orang lain berbuat baik. Harus berekspresi bagaimana jika menyangkal sesuatu. Harus berekspresi bagaimana, ketika orang lain menderita karena ulah kita?
Orang yang cerdas, tidak akan pernah kebingungan.
Itu yang Vania ingat. Kalimat terakhir Adara kepadanya, sebelum gadis multitalent itu tertidur.
¤¤¤
Dentingan sendok terdengar, hanya ada sedikit pembicaraan yang berakhir ketika mereka mulai menyantap makan malam. Seperti biasanya, Vano makan di samping Vania sementara di hadapannya ada Cassandra dan Vina.
Cukup kaku, dan Vano ingin dengan cepat menghabiskan makan malamnya kemudian pergi. Pergi tanpa ada lontaran amarah dari Cassandra untuknya.
“Kamu beneran mau kulian di Birmingham City University, Vano?” tanya Vina, dibalas dehaman singkat oleh Vano.
Cassandra ikut-ikutan bertanya, “Ambil program Business?”
Vano menggeleng. “Health and Sport, Pi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...