--.../-----

2.1K 436 108
                                    

SEHARUSNYA mereka sadar jika, hidup adalah berjalan ke depan, bukan terus mengungkit masa lalu. Seharusnya yang lalu biarkan berlalu. Yang buruknya, dirubah menjadi yang baik. Kemudian yang baiknya, dirubah menjadi yang lebih baik.

Vano Cassandra. Jika kehadirannya saja tidak dianggap di keluarga Cassandra, seharusnya nama belakang laki-laki itu tidak perlu ditambahkan nama Cassandra. Karena itu hanya sebuah pajangan, bukan marga tentang kekeluargaan.

“Semuanya gara-gara kamu!”

Dan Vano, merasa menjadi manusia yang serba salah. Selalu salah di mata semua orang, termasuk keluarganya dan juga Adara.

Laki-laki berwajah dingin dengan tatapan tajam seperti elang itu, sebenarnya pernah rapuh. Sampai rasanya, tidak kuasa menggenggam kuat pagar pembatas di samping danau yang merupakan tempat kesukaannya.

“Kak.”

Vano menggertakkan gigi ketika mendengar suara tersebut. “Jangan ke sini kalau mau nyiptain luka baru. Sana, bukannya lo mau makan malem sama Bunda?” desisnya sarkas.

Vania terdiam di belakang tubuh sang kakak. Gadis itu menundukkan kepalanya dan berbicara, “Aku bingung, Kak. Aku selalu bingung harus bereaksi seperti apa. Dan ketika aku mencoba untuk memberikan reaksi, pasti selalu salah di mata Kakak.”

Vano membalikkan badannya, dan menghembuskan napas. “Lo pikir gue peduli?” setelah berucap demikian, Vano melangkah meninggalkan Vania.

“Aku butuh dituntun, Kak. Aku butuh dituntun untuk mengolah emosi dengan baik,” ucap Vania namun tidak dipedulikan oleh Vano, karena laki-laki itu sudah pergi terlalu jauh sampai sulit untuk digapai kembali.

Vano sudah mencoba untuk berdamai, namun seringkali gagal.

Tring!

Ponselnya berbunyi. Vano mengambil ponsel pada saku celananya sambil berjalan, kemudian melihat pesan masuk.

A4RV2DM2Z
|How does it feel to be a runaway?
|Send your pictures.

Tangan Vano langsung mengepal saat itu juga. Dalam foto tersebut, terlihat Adara yang sedang bersama Rigel. Lebih tepatnya Rigel sedang menyuapi Adara.

Tunggu, menyuapi?

Ini bukan tentang dia yang cemburu pada dua remaja yang ada pada foto tersebut, tapi tentang sesuatu yang lebih penting dari itu.

Karena tanpa berpikir panjang, Veno langsung berlari menuju rumah, karena danau yang dia datangi tadi memang dekat dengan rumahnya. Vano masuk ke dalam mobil, dan melesat pergi.

Vano yakin, saat ini Adara tidak baik-baik saja.

Persetan dengan pesan sialan yang berkata bahwa dirinya hanya pelarian, Vano tidak peduli.

¤¤¤

“Loh, jadi tamunya Pak Garneo?” beo Rigel ketika memasuki rumah. Bahkan dia menelan kembali teriakan yang sering dia lontarkan ketika pulang.

Celena dan Garneo langsung menatap Rigel yang berdiri dengan senyum Pepsodent. “E-eh. Halo Pak,” sapanya.

Celena menatap tajam Rigel, dan mengisyaratkan supaya Rigel cepat pergi. Rigel mendengkus. Setelah menyalami Garneo, Rigel langsung pergi menuju dapur dengan kaki yang dihentak-hentakkan.

Sangat memalukan.

Dan ternyata Celena mengikuti Rigel ke dapur.

“Rig—”

“Apa, Bu? Ibu mau nikah lagi?” sela Rigel asal, kemudian meneguk segelas air putih.

Celena menendang kursi yang diduduki Rigel, untung saja tidak ternjungkal—walaupun air yang semula terjun ke mulut Rigel kini malah terjun ke baju laki-laki itu. “Ada-ada aja kamu!”

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang