“I always love you.”
An bergeming. Otaknya terasa begitu lambat untuk mencerna ucapan Zevan. Apalagi ketika banyak orang yang bersorak, “Terima, terima, terima ....”
Meteor menyikut lengan An, dan berbisik, “Terima aja, An.”
An mengerjapkan matanya. Indranya mulai normal, dan otaknya kembali berfungsi dengan baik. An malah memasang wajah datar, dan menarik tangannya yang digenggam Zevan.
“Gue gak bisa ...,” lirihnya, nyaris membuat banyak orang yang berdecak kecewa. Bahkan sebagian sudah mengumpati An karena menyia-nyiakan laki-laki seperti Zevan.
Detik selanjutnya, ketika wajah Zevan sudah berubah lesu, An menarik kedua ujung bibirnya dan tersenyum konyol. “Gak bisa nolak lo, maksudnya.”
Bagaikan disihir, Zevan kembali tersenyum begitu manis. Niatnya senyum untuk An, tapi perempuan lain yang malah meleyot.
Banyak orang yang bersorak. Walaupun sebagian besar dari mereka menyukai Zevan, tetapi mereka sadar diri untuk mendapatkan hati sang prince charming.
Zevan menarik An ke dalam dekapannya, namun An dengan cepat melepaskan dekapan Zevan dan menatap laki-laki itu dengan tatapan tajam. An meninju lengan Zevan beberapa kali, sebelum akhirnya berteriak, “MALU KAMPRET! INI WAJAH GUE HARUS DIKEMANAIN? EMBER MANA EMBER?”
Gelak tawa terdengar, apalagi ketika An berusaha menutupi wajahnya menggunakan almamater yang dikenakan Zevan.
Konyol.
Tepat pada hari itu, hubungan An dan Zevan tidak hanya seorang sahabat.
¤¤¤
Adara pulang ke rumahnya dengan diantar oleh Vano. Rigel sibuk bersama Aletta, dan Adara malas menunggu.
Setelah mobil Vano melaju meninggalkan rumah Adara, gadis itu langsung berjalan untuk membuka kunci rumahnya lalu masuk ke dalam. Gadis itu bergeming beberapa detik, sebelum akhirnya berlari mengecek setiap ruangan di rumahnya.
Tidak begitu detail, Adara langsung berlari ke luar rumah untuk menemui Pak Iwan.
“Pak, siapa yang tadi masuk ke rumah aku?” tanyanya.
Pak Iwan tampak gelagapan. Pria itu meminta maaf kemudian berucap, “Tadi Pak Hugo datang ke sini, dia punya kunci serep rumah ini. Mau ngelarang tapi gak enak, Non.”
Adara menggertakkan giginya. “Ada yang dia bawa?” tanya Adara kemudian.
“Cuma satu lukisan, Non.”
Setelah berterima kasih tanpa berucap, Adara langsung kembali memasuki rumahnya dan melihat ruang lukis. Adara mengedarkan pandangan, mencari lukisan yang hilang.
Ditemukan.
Lukisan yang selama ini Adara banggakan, bahkan gadis itu tidak mau menjualnya. Lalu, dengan semudah itu Hugo mengambil lukisan karyanya tanpa izin?
Sialan.
Adara kini berjalan cepat menuju kamar, netranya mendapati pintu hitam yang selalu tertutup itu malah sedikit terbuka. Adara mengepalkan tangannya, dan berjalan memasuki ruangan tersebut.
Ruangan khusus, yang berisi semua penghargaan milik Adara. Penghargaan yang Adara kumpulkan selama delapan belas tahun.
Tidak mau berlama-lama, Adara berjalan menuju perpustakaan pribadi dan menghidupkan komputer. Gadis itu duduk pada kursi yang sudah tersedia, dan matanya mulai menjelajahi dunia maya.
Sudah banyak notifikasi, dan kini semakin banyak. Bahkan membludak begitu saja.
Adara yang awalnya sudah menjadi perbincangan, kini semakin dibicarakan. Namanya melambung tinggi begitu saja hanya karena postingan dari akun resmi Sanjaya Group tentangnya beberapa jam lalu. Tentang rumahnya, tentang lukisan karyanya, tentang semua novel karyanya, bahkan tentang semua penghargaan miliknya. Difoto, disebarluaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...