....-/--...

2.3K 520 31
                                    

Ada yang rindu? Tidak ada? Oke.

Baru digantung 3 hari, belum digantung 3 tahun. Wkwkw, canda.

¤¤¤

“ADA satu cara yang bisa dilakukan untuk tetap menikmati kehilangan walaupun sakit, yaitu dengan menerima.” Rigel berucap demikian ketika mereka berada di pemakaman. Dan segala sesuatu yang Rigel ucapkan saat ini, adalah ucapan dari Giovano A Brillian. Kiranya, dengan begini sedikit-banyak menjadi bermanfaat.

“Menerima kenyataan bahwa semua sudah berubah. Menerima kenyataan bahwa tidak ada hal yang dulu terjadi juga bisa diulang di masa sekarang. Menerima kenyataan bahwa kehilangan tetaplah kepergian. Terakhir, menerima kenyataan bahwa dulu kitalah yang terlalu bodoh telah menyianyiakan waktu.” Rigel tersenyum menguatkan, tangannya bergerak mengusap bahu Muthia. “Hanya dengan menerima, kita bisa menikmati rasa sakit.”

Kini tatapan Rigel teralih pada batu nisan yang diusap oleh Muthia, kemudian berucap, “Lagipula, untuk apa menyesali banyak hal sedangkan rasa sesal kita hanyalah tinggal sesal saja. Ingin mengulang, tidak mampu. Ingin mengembalikan seperti semula, tidak bisa. Yang dapat kita lakukan ya tetap satu, itulah menerima.”

Hening, hingga Rigel mendoggakkan kepala. Pak RT, Vano, Vania, Zevan, dan Meteor yang masih berada di pemakaman. “Jam berapa?” tanyanya.

“Bodoh! Lo itu pake jam tangan,” balas Vania disertai wajah datarnya.

Rigel nyengir. Dia memang belum melepaskan jam tangan ini, seharusnya sudah. Nanti saja, ketika Rigel kembali ke sekolah akan dia lepas.

Sudah pukul 07.30 dan sepertinya acara perlombaan di sekolah sudah berlangsung. Untungnya mereka hanya ikut serta dalam pertunjuk—

Apa, pertunjukan?!

Seperti sehati, mereka memikirkan hal sama dan kini saling pandang. Bukankah ... flashdisk yang berisi video itu hilang? Jadi bagaimana nanti—

“Ayo balik. Mut, lo mau ikut atau tetap di sini?” ucap Zevan cepat.

Muthi mendonggak, memaksakan senyum dan menjawab, “Muthi ikut.”

Bagaimana pun juga, Muthia tidak mau jika beasiswa yang dimiliki hilang.

Baru saja Muthia berdiri dan hendak melangkah mengikuti temannya yang akan kembali ke mobil, Pak RT berucap, “Tunggu, Neng. Ada yang mau Bapak bicarakan.”

“Iya ada apa, Pak?”

Pak RT diam beberapa saat. “Beberapa warga mengatakan, kalau nenekmu meninggal karena keracunan. Semalam ketika Bapak ke rumahmu dan menemukan Nenek tidak bernyawa, di meja makan ada gelas yang isinya tinggal setengah. Kemungkinan besar, setelah minum air tersebut Nenek merasakan pusing dan terjatuh di ruang tamu.”

¤¤¤

“Jangan ceroboh!” desis Aletta seraya menepis tangan Arabela yang hendak mencampurkan beberapa cairan, hingga cairan tersebut tidak tercampur. Masih untung tidak tumpah.

Arabela memajukan bibir bawahnya. “Kan aku lagi eksperimen. Kata Adara juga, mencoba berbeda itu seni.”

Aletta berdecak, dan menatap tajam Arabela. “Benerin wajah lo, gak usah sok imut. Dan, gak usah nurutin Adara kalau lo gak tau ilmunya. Segala sesuatu itu harus ada ilmunya, jangan asal. Emang lo mau, laboratorium ini meledak gara-gara ulah lo?!” cecarnya.

Arabela menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan tersenyum konyol. “Oke, maaf.”

Aletta memutar bola mata, dan melanjutkan aktifitasnya. Jujur saja jika sedari tadi Aletta tidak fokus karena pikirannya tertuju pada Rigel. Kira-kira, Rigel masih sama Muthia gak, ya?

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang