AN melangkahkan kakinya memasuki Royal Class diikuti delapan temannya. Sudah dibilang murid berprestasi di Blue High School berbeda, ketika orang lain sibuk belajar mereka malah keluyuran di kantin dan 30 menit kemudian baru kembali masuk kelas.
Di dalam sana, sudah ada Rigel yang sedang melihat-lihat ruang Royal Class. Laki-laki itu tampak serius sehingga tidak menyadari kehadiran sembilan temannya.
"Hari ini kita tidak ada materi." Dinda menginstuksi. "Sepertinya memang memberi waktu kepada Rigel untuk memahami tentang Royal Class dan beberapa peraturan Blue High School."
Rigel membalikkan badannya, sudah ada sembilan penghuni Royal Class yang duduk di kursi masing-masing, namun menghadap ke arahnya.
"Apakah ada yang mau ditanyakan, Gel?" Dinda kembali berbicara.
Rigel diam beberapa saat, berusaha memahami kejadian yang menurutnya terjadi begitu cepat. "Kenapa di sini wajib berbahasa formal? Mengapa tidak berbahasa non-formal seperti anak remaja biasanya? Karena menurut saya, berbahasa formal seperti ini sedikit membatasi komunikasi." Rigel berucap disertai beberapa pendapatnya, kali ini cowok itu menggunakan bahasa formal.
Arabela mengangguk. "Blue High School mengajarkan kita supaya terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Apa jadinya jika pemuda-pemudi Indonesia tidak pandai berbicara bahasa Indonesia yang baik dan benar." Gadis itu berucap tegas dan lugas.
"Izin memberi argumen. Di satu sisi ucapan Arabela benar, dan di satu sisi lain ucapan Rigel juga benar. Berbahasa Indonesia yang baik dan benar memang sangat dianjurkan, namun hal itu bisa membatasi komunikasi antara murid satu dan murid lainnya. Mengapa? Karena secara tidak langsung, murid takut jika salah berucap dan mengakibatkan dia mendapat hukuman ringan." An memberikan argumen, di akhir kalimatnya gadis itu tersenyum miring.
Zevan mengangguk. "Saya setuju dengan penuturan An."
"Bagaimana jika kita mengusulkan supaya peraturan tentang berbahasa Indonesia yang baik dan benar—ralat, berbahasa formal di area Blue High School dihapuskan?" Rigel kembali berucap sambil menatap mereka satu per satu. Dia sangat keberatan dengan peraturan yang satu ini.
"Tidak! Saya tidak setuju. Bagaimana pun juga peraturan tetaplah peraturan, bahkan peraturan ini sudah dilaksanakan sejak Blue High School angkatan pertama," balas Aletta cepat. Dia lebih baik berbahasa formal seperti ini daripada berbahasa non-formal dan menyebabkan dia kelepasan berbahasa kasar.
"Apa salahnya jika kita membuat sebuah perubahan?" Kali ini Meteor yang bicara.
"Tidak salah sama sekali, tentu saja. Bahkan jujur saja, saya sendiri sedikit muak tentang peraturan yang satu ini. Bukan karena ucapan Rigel, tapi karena keadaan. Lihatlah semua murid Blue High School yang di waktu lenggangnya tidak digunakan untuk bercengkrama dengan sesama teman, bahkan menurut analisis saya hanya sedikit yang berkomunikasi satu sama lain," sahut Dinda panjang lebar.
Aletta mengangguk-anggukkan kepalanya ketika sudah mendapat beberapa penjelasan. "Baik kalau begitu, saya setuju."
"Kalau menurutmu, bagaimana?" Rigel bertanya kepada Vano yang sedari tadi diam.
"Saya ikut kalian." Singkat, padat, jelas. Itu ciri khas Vano.
Kali ini Rigel menoleh ke arah Adara yang belum memberikan pendapat apapun. "Bagaimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...