RIGEL menghentikan langkah ketika seseorang memanggilnya dari belakang. Saat ini dia ada di lorong, niatnya berjalan menuju basement.
Laki-laki itu membalikkan badan. Ternyata Aletta. “Cie manggil. Rindu, ya?” candanya.
Aletta mendelik. Mereka berjalan dengan langkah sejajar. “Gue mau minta tolong,” katanya seperti berbisik.
Rigel mengangkat sebelah alis. “Minta tolong?” ulangnya.
Ada hembusan napas kasar dari Aletta, gadis itu mengangkatkan bahu. “Mudah. Cukup lo ajak gue ke manapun, asal jangan anterin pulang.”
Rigel menghentikan langkah, membuat Aletta ikut berhenti. Sepertinya Rigel bingung, namun selanjutnya dia melanjutkan berjalan. “Gak mau pulang?”
“Enggak dulu kayaknya.” Gak mau ketemu bokap.
Rigel tampak menganggukkan kepala, tapi setelahnya menggeleng. Dia kembali menghentikkan langkah ketika matanya melihat beberapa bodyguard di basement. Dia tebak, itu adalah bodyguard Aletta karena waktu itu tidak sengaja bertemu.
“Ada mereka.”
Aletta mengikuti arah pandang Rigel. “Anjing!” umpatnya pelan, tapi terdengar hingga telinga Rigel.
Rigel sempat terkejut, tapi dia mengingat ketika hari pertama undang-undang sekolah ini pasal 3 ayat 1 dan 2 mendapat revisi, dia mendengar Aletta mengumpat.
Rigel menatap tangannya ketika merasakan sebuah genggaman yang sangat erat seperti ... mencari kekuatan. Rigel ditarik begitu saja menuju arah yang berlawanan dari arah sebelumnya.
“Putar arah,” bisiknya.
¤¤¤
Vano pikir Vania sudah menunggunya di basement, namun sedari tadi dia tidak melihat batang hidung sang adik. Bahkan dia sudah menunggu di sini selama sepuluh menit.
Jika meningat perkara malam itu, malas sekali Vano menunggu Vania seperti ini. Namun jika ditinggal pulang, justru resikonya akan lebih besar daripada menunggu yang hanya melelahkan.
Sebenarnya sedari tadi Vano sudah muak pada adiknya itu. Vania dengan mudahnya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka, bersikap biasa saja.
Jika boleh jujur dan jika bisa, Vano ingin kembali ke masa lalu ketika masih kecil.
Laki-laki itu menelepon kontak Vania, tidak lama kemudian panggilan tersebut diangkat. “Lo di mana?”
“Lapangan meman—”
Tut.
Vano menyimpan kembali ponsel di saku almamater, dia langsung berjalan dengan cepat menuju lapangan khusus memanah yang ada di belakang gedung guru.
Vano bisa melihat jelas dengan mata kepalanya sendiri ketika, Vania hanya diam saja melihat seorang siswi yang tengah dirundung di lapangan khusus memanah.
Dia langsung berjalan melewati Vania yang mematung dengan busur di tangannya.
“Jangan bully dia. Sekolah ini tidak pernah mengajarkan muridnya untuk melakukan tindakan bullying.”
Siswi yang tampak seperti adik kelas itu, langsung menghentikan aksinya dan menoleh pada sumber suara. “K-kak Vano,” ucapnya terbata-bata. “Kak Vano kenapa ada di sini?”
Konyol.
Vano menatap tiga siswi pelaku perundungan tersebut dengan tatapan dingin yang menusuk. “Jangan lakuin ini lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...