...../....-

2.4K 466 33
                                    

“PAHAM, hm?”

An mengerjap dan langsung mendorong dahi Meteor dengan telunjuknya. “Kalau gue gak cepu, lo mau kasih gue apa?”

Meteor berpikir sejenak. “Lo boleh liat gue balapan malam ini, mau?”

An merasa, benefit yang diberikan oleh Meteor tidak ada gunanya. Namun ... An sedang membutuhkan hiburan. “Oke.”

Meteor tersenyum puas. Dia menarik tangan An tanpa izin, menggenggam tangan gadis itu, sangat erat hingga lukanya terasa nyeri. An melotot, menghempaskan tangan Meteor dan menendang punggung laki-laki itu. “SIALAN LO! SAKIT KAMPRET!”

Meteor mengaduh, sambil memegang pinggangnya. “Aduh aduh, sorry ...!”

Meteor dan An sadar jika beberapa manusia yang berada di warung tadi memperhatikan keduanya, dan kini tertawa lepas melihat Meteor kesakitan.

Meteor langsung menunjuk mereka dengan tatapan tajamnya. “Jangan ketawa!”

Sintingnya, mereka malah mengeraskan tawa membuat Meteor mengumpat beberapa kali.

An mengulum bibirnya sambil berjalan ke arah warung. Ternyata Meteor tidak seburuk yang An kira, karena laki-laki itu juga manusia.

¤¤¤

An menghembuskan napas panjang. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, gadis itu berharap jika Ami dan Hugo belum pulang. Atau jika sudah pulang, jangan sampai memergokinya karena pulang dini hari.

An turun dari mobil, kemudian mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Berhati-hati, supaya tidak menimbulkan suara.

Bagaimana pun Ami yang tidak peduli padanya, wanita itu akan marah jika tahu An pulang terlalu malam, bahkan ini dini hari.

Mengedarkan pandangan, dan menghembuskan napas lega. Tidak ada tanda-tanda kehadiran kedua orangtuanya, sehingga An kini berjalan santai menuju kamarnya.

Ceklek.

An membuka pintu kamar, langkahnya langsung terhenti ketika mendapati tetangganya duduk di kasur dengan tubuh membelakangi.

An memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam kemudian hembuskan. Berusaha menetralisasi rasa gugup yang muncul secara tiba-tiba.

Gadis itu memasuki kamar dan menutup pintu. Berusaha untuk tidak peduli dengan kehadiran tetangganya dengan mulai membuka sepatu dan membuka blazer. Setelahnya, An duduk di samping tetangganya.

Siapa lagi kalau bukan Zevan.

“Dari mana, An?”

“Hm? Dari—main,” jawab An tanpa menoleh ke arah Zevan.

Laki-laki itu yang justru menatap wajah An dari samping, sangat intens. “Lo ... ngeroko lagi?”

An gelagapan. “Eng ... enggak.”

Zevan terkekeh. “Kecium baunya.” Laki-laki itu memegang kedua bahu An, membuat gadis itu menghadap ke arahnya. “Ada masal—”

“DAHI LO KENAPA?”

An memejamkan matanya, gadis itu mengumpat dalam hati ketika Zevan memastikan bagian tubuh lain dan mendapati tangan An juga terluka—walau sudah tertutup plester.

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang