...--/.----

2.5K 528 38
                                    

VANIA merasa, dirinya tidak bisa menebak pikiran kakak kembarnya. Sejak malam itu, malam di mana laki-laki itu tiba-tiba memeluknya dan berucap maaf, justru Vania merasa tidak mengenali kakaknya.

Saat ini, Vania sedang memperhatikan Vano yang sedang memainkan gitar milik Adara. Gitar itu tadi dipinjam Rigel, namun Vano yang memainkannya.

“Kenapa lo liatin gue?”

Vania tersentak, kemudian tersenyum kikuk. “Gak boleh ..., Kak?”

Vano tidak menjawab, dia masih memainkan gitar tanpa bernyanyi. Saat ini mereka berada di belakang rumah Adara, pemandangan yang mereka lihat hanyalah hutan dan angkasa.

Aletta menghampiri Rigel yang diam, padahal biasanya laki-laki itu banyak bicara. “Biasanya, orang yang mandang alam itu lagi memikirkan sesuatu yang—”

“Gue gak mikirin apa-apa.” Rigel menoleh dan tersenyum, dia menepuk-nepuk lantai di sampingnya menyuruh Aletta untuk duduk.

Aletta berdeham dan duduk. Gitaris itu mendonggak, menatap angkasa. “Vano tenyata bisa main gitar juga,” celetuknya.

Memang, sebelas murid Royal Class ini sedang berada di tempat yang sama namun melakukan kegiatan yang berbeda.

“Gue juga bisa,” kata Rigel tampak tidak terima. “Mau gue nyanyiin?”

Aletta mengangkat sebelah tangannya ketika Rigel hendak beranjak mengambil gitar. “Gak usah, suara lo kurang bagus soalnya.”

Rigel langsung mengantupkan mulutnya. Dengan wajah masam, dia kembali duduk di samping Aletta. “Eh?” Mata Rigel membola ketika menyadari ada sebuah luka pada pelipis Aletta.

Aletta justru memalingkan wajahnya.

“Pelipis lo ..., kenapa?” Tangan Rigel bergerak untuk menyentuh luka itu, tapi Aletta yang meringis membuat dia menghentikan gerakannya.

“Gue juga baru nyadar sama luka di pelipis lo,” timpal Zevan. Laki-laki itu duduk di samping An yang sedang mengelus kucing berwarna orange.

Aletta tidak berkata apapun, gitaris itu hanya tersenyum tipis.

“Gue yang pipinya kegores aspal aja, kalian gak nyadar,” celetuk Vania dengan kekehan di akhir ucapannya.

Mereka refleks menoleh pada Vania, ada luka yang sudah kering di pipi gadis itu. Benar, mereka bahkan tidak menyadari tentang itu.

“Muthi udah nyadar, cuma gak berani nanya,” kata Muthia. “Eh kalian yang baru nyadar, mata kalian sehat?”

Tersenyum masam. Muthia seperti tidak menyaring terlebih dahulu ucapannya.

Rigel mengangkat jempol. “Sehat kok, seh—”

“INI KUCING APA SINGA, SIH?” An melepaskan kucing yang semula dia gendong. Itu kucing liar, karena Adara tidak memelihara kucing.

Rigel dan Aletta refleks menoleh pada An yang sibuk mengusir kucing berwarna orange itu.

Zevan tertawa, namun sialnya tawa Zevan berhenti ketika kucing tadi menyakar tangannya. “Anjing!”

“Itu kucing, goblok!” An menyahut.

Zevan meringis, dia meniup-niup tangannya yang terasa perih. “Kalau dicakar kucing bisa rabies gak, sih?”

Pertanyaan konyol itu membuat An tertawa. “Mampus, Zev! Ntar kalau lo jadi manusia kucing gimana?”

Zevan bergerak memukul An, namun tidak sampai karena An menjauh. “Meong!” teriaknya dramastis, berlagak seperti kucing.

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang