BUGH!
Hanya satu pukulan yang diberikan Pak Iwan kepada salah satu orang itu yang mengetuk-ngetuk jendela mobil. Anehnya, empat orang berpakaian hitam dan bertopeng itu kabur ketika Zevan, Rigel, Vano, Meteor, juga An yang turun dari kendaraan mereka.
“DIH, MALAH KABUR!” sorak An, emosi. Detik setelahnya, hujan lebat tiba-tiba turun mengguyur mereka.
Bukan kembali masuk ke dalam mobil, ataupun langsung mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Mereka justru menghampiri Adara dan serempak bertanya, “Lo gapapa?”
Mereka saling pandang untuk beberapa saat, hingga akhirnya Adara berdeham singkat. “Gapapa,” jawabnya.
“Tadi siapa, sih, Ra? Bikin masalah aja,” sewot Rigel sambil berjalan dan menaiki motornya. Tidak peduli dengan baju yang sudah basah kuyup.
Adara tidak menjawab. Gadis multitalent itu kembali memasuki mobil diikuti oleh Pak Iwan.
“Kita nanti buat videonya basah gini, gapapa?” celetuk Zevan.
“Ya kagak, lah!” Ini jawaban An dengan nada sewot. Gadis berambut sebahu itu menoleh ke arah Adara, “Ntar pinjemin gue baju, ya?”
“Jijik, kampret!” Zevan tidak segan-segan untuk menonyor kepala An ketika gadis itu memasang wajah sok imut.
An tertawa, di bawah hujan deras yang mengguyurnya.
“Boleh.” Setelah mengatakan itu, Adara melajukan mobilnya kembali. Dia memutar arah, karena jalan menuju rumahnya sudah terlewati. Tadi, sengaja tidak menuju jalan menuju rumah untuk mengecoh penguntit.
Iya, bisa disebut penguntit, ‘kan? Soalnya mereka mengikuti Adara. Hal ini adalah kedua kalinya.
Tidak terasa telah sampai di rumah Adara. Pak Iwan langsung turun dari mobil guna untuk membuka pagar.
Adara berdecak ketika, mendapati Kaisar yang berdiri di depan pintu rumah dengan tangan yang melambai-lambai. Semoga saja makhluk gaib yang satu itu tidak berulah.
Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah Adara yang cukup luas, mereka langsung berlari menuju teras rumah Adara. Setidaknya, supaya baju mereka tidak terlalu basah—kecuali Zevan, Meteor, Vano, Rigel, dan An yang sudah basah.
“Sulit dipercaya, hampir jalan buntu tapi ada rumah. Dikelilingi pohon lagi,” kata Dinda sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Adara tidak menyahut, dia mengambil kunci dari dalam tas kemudian membuka pintu.
“Ini beneran rumah lo, Ra?” tanya Zevan sambil berjalan masuk mengikuti Adara. Laki-laki itu tampaknya tidak memikirkan tentang pakaian basahnya yang menyebabkan lantai menjadi becek.
“Rumah bokap lo kali,” timpal Rigel.
Adara menghentikan langkahnya tiba-tiba, membuat Zevan tidak sengaja menabrak punggung gadis itu. “Rumah gue.” Setiap kata yang diucapkan, terdengar seperti penekanan.
Mereka sepenuhnya telah masuk ke dalam rumah Adara, sang pemilik rumah langsung menutup pintu kembali. “Yang pakaiannya basah, jangan duduk di sofa,” titahnya.
Adara membuka pintu kamarnya. Setelah dia benar-benar masuk ke dalam ruangan tersebut, Adara berucap, “Jangan masuk ke ruangan apapun tanpa izin gue! Kecuali kamar mandi.”
Mereka saling pandang. “Gila, sih. Aura Adara serem banget dari tadi,” kata Rigel sambil mendudukkan tubuhnya di lantai. “Duh, dingin.” Laki-laki itu memeluk tubuhnya sendiri.
“Rumah Adara itu cocok untuk shooting film horror gak, sih?” celetuk Arabela setelah duduk di sofa.
Perlu diketahui jika sofa di rumah Adara hanya cukup untuk lima orang saja, jadi sisanya masih berdiri atau duduk lesehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...