SEORANG gadis turun dari mobil berwarna putih miliknya ketika sampai di pekarangan rumah. Dia hendak masuk ke dalam rumah, namun tiba-tiba sebuah panggilan masuk pada ponselnya.
Tertera nama Zevan.
Tanpa berfikir panjang, gadis itu langsung menerima panggilan tersebut.
“An—”
“Apaan, sih, Zev? Orang baru nyampe main telepon aja, lo! Gue mau istirahat, tau!” sembur An.
Di seberang sana, Zevan menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak, kemudian mendekatkan kembali. “Coba balik badan, An.”
“Gak jelas banget, lo,” sungut An, tetapi gadis itu tetap membalikkan badannya.
Kini, gadis itu menghadap rumah milik Zevan yang memang berada di seberang rumahnya.
“Lo liat gue?”
“Kagak, lah, anjir. Motor lo aja gak ada, berati lo belum sampai rumah.” An mendengkus. Zevan membuatnya membuang-buang waktu, harusnya saat ini dia belajar untuk UTS besok.
Terdengar kekehan dari seberang sana.
“Plis, mending lo to the point aja. Atau, gue matiin—”
“Jangan dulu, An!” sela Zevan.
An memutar bola mata malas, tidak lama setelahnya terlihat Zevan yang keluar dari rumahnya disertai cengiran yang khas. “Lo—”
“Sini, An!” Zevan terlihat melambai-lambaikan tangannya.
“KALAU LO ADA DI RUMAH, NGAPAIN NELEPON, KAMPRET!”
Tut.
An mematikan sambungan telepon sepihak. Gadis itu menatap tajam Zevan yang berdiri di seberang sana. Mereka hanya terhalang jalan.
Drrtt ... drrrttt ... drrrttt ...
Zevan menelepon An, lagi. Gadis itu menerima panggilan telepon itu dengan malas. “Apa lagi?!” Terdengar ngegas.
Zevan terlihat bersandar pada pagar rumahnya. “Gak tau. Temenin gue ngegabut, dong, An.”
An memutar bola matanya. “Belajar sana!” Setelah mengatakan itu An kembali mematikan sambungan telepon, dan melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Tidak lagi memperdulikan Zevan yang berteriak memanggil namanya.
An mengedarkan pandangan, tidak ada siapa-siapa di rumah.
Gadis itu tersenyum tipis, mengingat mamahnya sedang berada di luar kota.
Gadis itu berjalan menaiki anak tangga, menuju kamar. Dia langsung memasuki kamarnya yang selalu seperti kapal pecah, tetapi nyaman.
An melempar tas sekolahnya asal, dia merebahkan diri di kasur. Tetapi detik berikutnya dia mengingat sesuatu. An berdecak. Besok UTS pelajaran biologi, dan buku catatan biologi miliknya ada pada Zevan.
Dengan langkah malas, An keluar dari rumahnya. Terlihat sudah tidak ada Zevan di sebrang sana, jadi mau tidak mau An harus mendatangi rumah Zevan.
Bisa saja An menelpon laki-laki itu untuk mengantarkan buku ke rumahnya, tapi An tidak mau Zevan kege'eran karena mendapat panggilan telepon darinya setelah An yang memutuskan panggilan telepon secara sepihak, tadi.
An mengedarkan pandangannya sebelum menyebrang, tidak ada kendaraan apapun. Di jalan daerah komplek-nya ini, memang jarang sekali kendaraan yang berlalu lalang. Tanpa berfikir panjang, An memutuskan untuk menyebrang.
Namun siapa sangka ketika gadis itu tepat berada di tengah-tengah jalan, sebuah lampu mobil menyorot ke arahnya. Mobil itu melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...