SEHARUSNYA memang jangan terlalu berharap pada manusia. Sebab berharap kepada manusia, adalah cara untuk merasa kecewa.
Seperti Alettania.
Adara tidak kembali setelah izin ke toilet, dan suasana di private room menjadi canggung walaupun Rigel berkali-kali membuat candaan. Hingga Aletta memilih untuk pergi, meninggalkan Rigel sendirian yang merasa serba salah.
Dan setelah hari itu, hubungan ketiganya merengang. Semakin renggang ketika sibuk melaksanakan Ujian Nasional, bahkan sekadar sapa dari kedua gadis itu untuk Rigel pun tidak ada.
Iya, itu. Ujian Nasional.
Murid kelas XII Blue High School tersisa kurang dari 50 setelah banyak murid yang dibuang ke Black High School setiap ujian—murid yang mendapat nilai kurang dari 85. Maka, untuk murid yang merasakan Ujian Nasional di Blue High School, berarti mereka beruntung. Karena artinya, mereka mampu bertahan.
Kondisi laboratorium komputer begitu tegang, walaupun monitor di depan yang memiliki besar seperti papan tulis itu menunjukan kalimat penyemangat supaya sedikit tenang. Alih-alih tenang, justru menjadi tegang.
Di lantai satu gedung ini, terdapat kalimat untuk menghimbau adik kelas supaya tidak berisik.
Harap tenang sedang ujian.
Tidak boleh ada murid kelas X maupun kelas XI melewati area laboratorium. Benar-benar dijaga ketat, pengawas pun berjalan pada setiap celah antara bangku satu dengan bangku lainnya. Menatap tajam setiap murid, yang ingin menengok kanan kiri.
Aletta mengusap wajah frustrasi mendapati soal-soal yang seharusnya mudah, tapi otaknya sulit untuk diajak kompromi. Perut gitaris itu terasa nyeri, karena tadi pagi belum sempat sarapan walau sekedar roti.
Sial.
Aletta menekan option A walau hatinya sedikit ragu, dan membaca soal berikutnya.
Pada bangku yang berbeda—setiap murid duduk jauh dari teman kelasnya—Meteor mengacak rambut yang terasa panas. Meteor tidak serajin itu untuk giat belajar seperti yang lain, justru sebelum pelaksanaan ujian dirinya malah melakukan balap liar.
Laki-laki itu melirik Arabela yang hanya terlihat punggungnya saja, gadis itu tampak begitu fokus mengerjakan soal.
Padahal, perspektif Meteor salah.
Arabela tidak bisa sefokus itu. Alih-alih berjuang untuk mendapat hasil yang memuaskan, Arabela malah berpikir, “Untuk apa nilai bagus kalau gak lanjut ke perguruan tinggi?”
Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha membuang pemikiran yang demikian. Tetap berusaha mengerjakan setiap soal untuk mendapat hasil yang memuaskan. Arabela tidak boleh pupus harapan.
Dinda menghembuskan napas kasar, berdecak, lalu memilih jawaban yang menurutnya benar. Gadis itu sama sekali tidak berniat untuk meretas akun yang memberi soal supaya tahu jawaban, sebab Dinda tidak selicik itu.
Diam-diam Dinda melirik Vania, gadis itu tampak menyendarkan punggung pada sandaran bangku kemudian menyentuh kepala sebelah kiri.
Dinda tidak tahu jika Vania merasa pusing bukan karena soal yang sulit. Namun migrain, Vania merasakan sakit kepala sebelah secara tiba-tiba.
Pada ruangan yang berbeda, An menendang tiang meja. Gadis itu mengumpat ketika pengawas menatapnya tajam dan meminta untuk tenang serta fokus melaksanakan ujian.
Bukannya An tidak bisa menjawab semua soal itu, namun di dalam sepatunya terasa seperti ada sesuatu yang mengigit. Entah itu semut kecil atau apa, yang jelas An ingin segera membuka sepatu dan memastikan apa yang mengganggu ketenangan kakinyan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...