“TIDAK ada rahasia untuk sukses. Ini adalah hasil dari persiapan, kerja keras, dan belajar dari kegagalan.” –Colin Powell
Aletta gagal, maka dia sedang berjalan menuju kesuksesan ketika dia belajar dari kegagalan tersebut. Jadi seharusnya, ini tidak menjadi alasan amarah Garneo.
“Ayah,” panggil Aletta karena sejak Aletta pulang sekolah, pria itu tetap diam. Jangankan marah, berbicara satu patah kata pun tidak.
Hening. Aletta memberanikan diri duduk di sofa yang berada di depan Garneo. “Ayah gak marah?” cicitnya tanpa berani menatap wajah Garneo.
Hembusan napas panjang terdengar. “Marah untuk apa?”
Aletta mengantupkan bibirnya. Ini adalah hal baik, ketika Garneo tidak marah padanya. Namun tetap saja, ini rasanya aneh.
“Aletta gak masuk peringkat tiga besar, Ayah. Aletta gagal lagi,” tutur gitaris itu. Tangannya sudah meremas cardigan yang digunakan sangat erat.
Tidak ada jawaban dari Garneo. Justru Aletta merasakan bahwa Garneo kini duduk di sampingnya, dan menyentuh pundaknya. Meminta supaya Aletta menghadap Garneo dan menatap manik mata pria itu. “Sini, liat Ayah.” Suara Garneo terdengar lembut, tidak seperti biasanya.
Rasa takut masih menyelimuti diri Aletta, namun gadis itu tetap mendonggak.
Garneo menarik sudut bibirnya, membentuk kurva kecil. Garneo Canavaro tersenyum! Pria kaku, egois, dan keras kepala itu benar-benar tersenyum.
Aletta mengerjap. Jatung yang semula berdetak lebih cepat, kini mulai kembali normal. Aletta merasakan suatu kehangatan ketika melihat senyum Ayahnya.
Apalagi kini, Garneo menarik Aletta ke dalam dekapannya.
Aletta belum membalas pelukan yang Garneo ciptakan. Gitaris itu masih memastikan, ini mimpi atau bukan.
Mencubit pipi, itulah yang Aletta lakukan. “Ini bukan mimpi?” gumamnya, tentu saja terdengar sampai telinga Garneo.
Pria itu terkekeh. “Iya, Sayang, ini bukan mimpi.”
Aletta langsung merekahkan senyumnya dan membalas pelukan Garneo. Sangat erat, karena ini adalah pelukan yang selama ini Aletta harapkan. Mata gadis itu bahkan sudah berkaca-kaca karena terharu.
Garneo membelai surai hitam Aletta. “Tadi Bu Nona bilang sesuatu ke Ayah,” bisiknya. “Maafin Ayah, ya?”
¤¤¤
Sedang asyik membaca, namun tiba-tiba ada yang memanggil itu rasanya menyebalkan sekali. Apalagi yang dibaca sedang seru-serunya.
Gadis itu berdecak ketika seseorang mengetuk pintu kamar dan memanggil namanya. “Masuk!” serunya.
Pio datang. Pria itu menyimpan segelas susu di nakas. “Maaf Nona, Tuan Xenova menunggu Nona di ruang tamu,” tuturnya.
Dinda mendonggak, lagi-lagi berdecak. “Mau apa katanya?”
“Tidak tahu, Nona.”
Dinda menyimpan novel asal, lalu berjalan malas keluar kamar dan menuju ruang tamu. Terlihat, Xenova dan Deswita duduk berhadapan namun tidak saling bicara.
Dinda mencibir. “Apa panggil aku? Mau rujuk? Mending jangan, deh,” selorohnya.
Xenova melempar bantal sofa ke arah Dinda, namun hanya mengenai kaki gadis itu. “Jangan bercanda, sini duduk!” titahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...