---../..---

2.3K 452 65
                                    

MENGACAK rambut frustrasi. Meteor tetap tidak percata padanya padahal Dinda sudah menjelaskan hal yang lebih logis daripada hipotesis sialan laki-laki itu.

Dinda menghidupkan laptopnya setelah dia lempar karena terlalu frustrasi. Untung masih hidup.

Mulai memencet keyboard dengan cepat, matanya harus fokus pada rentetan kata pada layar laptop tersebut. Bukan sembarang kata, Dinda harus membacanya menggunakan sandi.

Sial. Dinda tidak bisa fokus.

Pikirannya malah melayang pada kejadian tempo lalu, ketika pelaksanaan try out 6.

Zevanio Arganitra. Seingatnya laki-laki itu tidak mendapat pesan yang dikirimkan oleh A4RV2DM2Z. Dan juga, Adara. Mengapa dua orang itu dikecualikan?

Dari sekian orang yang menduga bahwa dirinya adalah orang di balik nama itu dengan dalih, seorang hacker yang bisa meretas website resmi Blue High School. Dinda justru berpikir bahwa pelakunya adalah salah satu dari Zevan dan Adara.

Dinda mengurungkan niat sebelumnya, kini gadis itu beralih untuk meretas ponsel Zevan.

Berhasil.

Dinda malah menemukan beberapa chat dari Arganitra yang sudah menumpuk namun tidak kunjung dibuka.

Membaca perlahan, pikirannya berusaha untuk mencerna. Orang tua Zevan akan cerai?

“Maaf, Nona. Ada pe—”

Dinda berdecak ketika Pio tiba-tiba datang. Sedari tadi pintu kamar Dinda memang tidak ditutup, sehingga pria itu tidak perlu susah-susah mengetuk pintu.

“Siapa? Kalau gak penting, mending lo pergi,” sahutnya ketus.

Pio berusaha untuk tetap sabar. “Penting, Nona. Tuan Xenova meminta Nona untuk berbagi kamar dengan saudari Muthia.”

Gerakan Dinda yang mengutak-atik laptop langsung terhenti. Tatapan tajamnya langsung menghunus ke arah Pio dan tangannya mengepal erat. “Gue gak mau,” tekannya.

Mana mungkin Dinda akan berbuat baik kepada orang yang menjadi alasan dirinya selama ini menderita. Dan dengan lancangnya, Xenova meminta Muthia untuk tinggal di rumah ini padahal pria itu saja memisahkan diri. Apa reaksi Deswita nantinya?

Bodoh.

Dinda menggertakkan gigi, ketika netranya mendapati Xenova memasuki kamarnya disertai senyum manis.

“Sayang—”

Dinda berdiri dari duduknya, melangkah lebar menghampiri pria itu, lalu melayangkan sebuah tamparan.

Plak!

You stupid, Dad!” teriaknya.

Daddy bilang, Daddy sayang aku! But, why do you always make decisions without a deal?!” hardik gadis itu. Sudah kacau karena memikirkan siapa orang di balik nama A4RV2DM2Z, Dinda malah dibuat semakin kacau oleh keluarganya.

Xenova menarik Dinda ke dalam dekapannya, sementara Dinda terus berontak dan memukul dada pria itu. “Don't cry, my dear,” bisiknya.

Detik itu juga, Dinda menangis. Tubuhnya melemas, dan kini menyandarkan kepala pada dada bidang sang Ayah.

Dad, selama ini aku dipaksa bersaing. Tapi kenapa sekarang malah diminta untuk berteman? Why even asked to be friends?” lirih Dinda.

Xenova tidak menjawab. Pria itu mengusap lembut rambut Dinda upaya menenangkan. Namun di sela isak tangis putrinya, ujung mata Xenova mendapati ponsel Dinda yang menyala.

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang