----./..---

2.2K 423 46
                                    

“SAAT kecil kita bermain dengan keadaan. Saat dewasa kita dipermainkan oleh kenyataan.” –Giovano A Brillian

Aletta termenung, netranya menatap lurus ke depan seolah ada yang menarik di sana, sehingga enggan untuk mengalihkan pandangan. Bahkan, Rigel sedari tadi memanggil pun tampak tidak terdengar di telinga gitaris itu.

“Aletta?” panggil Rigel untuk kesekian kalinya. Laki-laki itu sudah duduk di samping Aletta bahkan melambai-lambaikan tangan di depan wajah gitaris itu.

“Ini tidur atau gimana, sih?” oceh Rigel karena Aletta tidak bereaksi apa pun. Hanya sesekali berkedip.

Rigel menggoyang-goyangkan pundak Aletta seraya berteriak, “AL BANGUN AL, UDAH SORE NIH!”

Hal tersebut membuat beberapa orang menoleh ke arah keduanya, namun Rigel sama sekali tidak peduli.

Aletta terkesiap dan memukul lengan Rigel beberapa kali. Hal tersebut membuat Rigel tertawa. “Makanya jangan bengong terus. Mikirin apa, sih?” ucap Rigel setelah Aletta berhenti memukuli lengan Rigel.

Aletta mencebik. “Mikirin lo,” jawabnya asal.

Laki-laki itu terkekeh. “Emang gue kenapa pakai dipikirin segal—”

“Lo nakal, sih,” sela Aletta. Gadis itu bersidekap dada, dan kembali menatap lurus ke depan.

Saat ini, keduanya sedang duduk di pinggir danau. Rigel yang mengajaknya ke sini. Namun, tadi Rigel izin pergi untuk membeli minuman dan ketika kembali malah mendapati Aletta yang melamun.

Rigel menyodorkan sebotol minuman ke arah Aletta dan diterima gadis itu. “Padahal akhir-akhir ini, gue berusaha jadi anak yang baik hati, Al. Rekor terbesar, dari minggu lalu gue gak ngurus peliharaan gue,” tutur Rigel bangga.

“Peliharaan lo?” beo Aletta.

“Namanya Si Cebong, Al. Tapi dihapus sama nyokap, terus diganti sama boneka katak. Eh bonekanya gak dikasih ke gue,” celotehnya.

“Kok bisa dihapus? Emangnya—”

“Yakan itu game!” potong Rigel dengan begitu konyolnya. Rigel tertawa, namun Aletta malah mengernyitkan dahi.

Ini Rigel masih waras atau tidak, sih?

Aletta menghembuskan napas panjang, beberapa detik setelahnya Rigel menghentikan tawa. Gadis itu meneguk minuman yang tadi diberikan oleh Rigel, hingga tersisa setengah. Kemudian berdecak pelan. “Lo tau tentang orang tua kita gak, Gel?” tanyanya.

“Tau lah! Kerja sama antar perusah—”

Aletta menoleh ke arah Rigel dan memotong, “Lebih dari itu, Rigel. Apalagi ketika gue mengetahui satu fakta, kalau ternyata bokap gue jatuh cinta sama nyokap lo.”

Rigel membulatkan bola matanya dan malah menjawab dengan begitu antusias. “Wah bagus, dong! Setelah terjalin hubungan baik, nanti nyokap gue sama bokap lo nikah biar nyokap gue gak galau terus. Nah, nanti kita jadi keluarga—eh, Al? L-lo kenapa?”

Laki-laki itu menatap Aletta yang matanya malah berkaca-kaca. Apa ada yang salah dengan penuturan Rigel barusan?

Gadis itu tersenyum masam dan meninju dada Rigel pelan. Lalu detik selanjutnya, Aletta malah menangis tanpa memberi penjelasan kepada Rigel.

“Cup, cup, cup. Nia jangan nangis, ya? Sini peluk Ipa,” imbuh Rigel, seraya membawa Aletta ke dalam dekapannya.

Laki-laki itu mengusap puncak kepala Aletta, sementara gitaris itu masih menangis—entah menangisi apa, Rigel tidak cukup tahu.

Hingga Aletta melepaskan pelukan, Rigel mengusap bercak air mata di pipi gitaris itu. “Lo kenapa, Al? Sini-sini cerita,” tuturnya lembut.

Aletta tersenyum masam. “Lo anggap gue apa, sih, Gel? Kalau orang tua kita nikah, gue gak punya peluang untuk—” Aletta menghentikan ucapannya dan malah menangis, lagi.

99,99Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang