ENTAH percaya atau tidak, membuat puisi itu lebih mudah ketika sedang kacau. Atau lebih tepatnya, kita sedang merasakan suatu hal yang terkadang membuat kita tidak tenang.
Hal tersebut terjadi pada Muthiara Bintang, peserta lomba cipta puisi yang nyaris mengundurkan diri dan memilih segera pulang untuk melihat kondisi neneknya. Bahkan gadis berhijab itu tidak percaya jika dirinya bisa membuat satu puisi berisi lima bait dalam waktu cepat.
Entah dari mana setiap kata yang ditulis Muthia berasal. Karena yang jelas, Muthia benar-benar menulis apa yang dia rasakan. Berbagai kata beserta diksi itu seperti mengalir dan Muthia menulisnya tanpa sadar, tangan yang dikendalikan oleh hatinya. Hati yang benar-benar menguasai Muthia hingga mampu menyelesaikan puisi tersebut.
“Ke kanan atau ke kiri?”
Muthia mengerjap, lamunanya buyar ketika Vano bertanya. Gadis itu langsung menatap jalan dan berucap, “Ke kiri.”
Tidak lama setelahnya, Vano kembali melajukan mobil diikuti oleh satu mobil di belakangnya.
Ada dua mobil yang melaju menuju rumah Muthia. Mobil yang dikendarai oleh Vano dan mobil yang dikendarai oleh Rigel. Masing-masing mobil berisi lima orang, satu di antaranya tentu saja Muthia.
“Di sini,” ucap Muthia membuat Vano menghentikan mobil.
Tampak sebuah bendera kuning yang menandakan ada seseorang yang meninggal dunia. Rumah itu tampak ramai, samar-samar mereka mendengar bacaan Al-Qur'an dari dalam rumah.
Muthia langsung keluar dari mobil diikuti yang lain. Saat ini hanya Muthia yang masih mengenakan almamater biru tua khas Royal Class, setelah lomba tadi dia tidak sempat untuk sekedar membuka almamater.
Berlari kecil dan langsung masuk ke dalam rumah melewati beberapa orang yang menyapanya. Muthia berusaha tetap berlaku sopan kepada orang yang menghalangi jalannya, entah berapa kali Muthia mengucapkan kata, “Permisi.”
Langkahnya terhenti, ketika matanya mendapati jasad sang nenek yang sudah ditutup menggunakan kain putih. Muthia tidak menangis, harusnya dia tidak boleh menangis.
Muthia menggigit bibir bawahnya, dia duduk tepat di samping jenazah. Tangan gadis itu perlahan bergerak membuka kain penutup.
Hening. Warga yang semula sedang membaca Al-Qur'an tiba-tiba berhenti.
Muthia menatap wajah neneknya yang sudah terbujur kaku itu cukup lama. Tanpa disadari pertahanannya hancur dan cairan bening itu mengalir di pipinya. Dengan gerakan cepat, Muthia menghapus air matanya.
Sedari tadi ucapan nenek waktu itu berputar di kepalanya, ketika kakeknya meninggal. Katanya, “Jangan nangis, Sayang. Jangan sampai air matamu menetes pada tubuh jenazah, karena hal itu akan membuat jenazah kebanjiran di dalam kubur.”
Entah benar atau tidak, namun apa salahnya jika Muthia berusaha untuk tidak melakukan hal tersebut.
Memejamkan mata sejenak, ketika warga kembali melantunkan ayat Al-Qur'an dan Muthia kembali menutup wajah neneknya menggunakan kain.
Rasanya seperti mustahil.
Gadis itu memundurkan tubuhnya. Muthia merasakan beberapa orang mengusap-usap punggung dan juga lengannya, berkata supaya Muthia tabah, sabar, juga ikhlas. Hal tersebut membuat tangis Muthia pecah dan tangannya bergerak entah memeluk siapa.
“Kenapa orang yang Muthi sayang malah pergi tanpa pamit? Kenapa ...?”
Gadis itu terus saja berbicara tidak tentu arah, di dalam pelukan. Gadis itu bahkan berhasil membuat baju orang yang dia peluk tanpa izin itu basah, bahkan Muthia dengan seenaknya mengelap ingus yang mengalir dari hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
99,99
Teen Fiction-Ketika dipaksa untuk menjadi cerdas- "99,99 saja cukup. Tidak perlu 100. Karena kesempurnaan itu hanya milik Tuhan." -Adara Mahaputri Sekolah gila yang memiliki nilai minimum 85. Serta, tidak lebih dari 50 murid dari 500 murid yang akan menjadi lu...